Rabu, 30 Desember 2015

Kecilnya urusan Dunia



Ada sebuah nasehat indah dari teman saya beberapa waktu yang lalu. Saya ingin mengabadikan nasehat itu di sini agar orang lain bisa membacanya. Atau paling tidak, saya bisa membacanya kembali di waktu yang lain sehingga saya kembali tersadarkan.
 
Hal itu bermula ketika saya menyampaikan kepadanya bahwa saya masih mau fokus pada pengerjaan tesis. Jadi saya mau fokus dan memikirkan khusus untuk tesis ini, makanya saya tidak ingin diganggu oleh hal-hal lain. Kemudian dia menasehati saya bahwa perkara dunia itu tidak usah terlalu dipirkan secara mendalam. Perkara dunia itu hanya terjadi di dunia dan akan selesai di dunia. Pengerjaan tesis itu adalah perkara dunia. Ia adalah urusan kecil, tidak perlu dibesar-besarkan. 

Saya pun sadar, bahwa selama ini saya salah dalam bersikap. Apalagi sehari sebelumnya teman saya ini mengatakan kepada saya bahwa kalau kita merasa berat dan gelisah terhadap urusan dunia, maka spritualitas kita sedang bermasalah. Saya sadar bahwa spritualitas saya sedang bermasalah. Saya lebih banyak memikirkan dunia daripada akhirat. Saya lupa bahwa akhirat adalah kehidupan sebenarnya. Saya lupa bahwa urusan dunia hanyalah sementara dan merupakan ladang untuk akhirat.

Dari situlah kemudian saya membuat sebuah kesimpulan bahwa kita hendaknya menganggap kecil yang seharusnya memang kecil, dan menganggap besar perkara yang memang besar. Yang perlu dianggap kecil karena dia memang kecil adalah urusan dunia. Urusan dunia adalah perkara kecil, tidak perlu dibesar-besarkan. Sedangkan urusan akhirat adalah besar sehingga kita hendaknya takut untuk masuk neraka di akhirat sana. Kita sangat berharap untuk masuk surga. Caranya ialah berusaha mendekat kepada-Nya, banyak beristighfar, minta ampun atas segala kelalaian yang sudah dibuat. Karena Dia Maha Tahu apa yang kita kerjakan walau kita dengan sekuat tenaga berusaha menyembunyikan.

Akhirnya, semoga kita bisa bersikap adil. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perkara dunia yang merupakan kecil dan remeh temeh tidak perlu dipikirkan secara mendalam. Sedangkan perkara akhirat betul-betul diupayakan dengan sungguh-sungguh. Tapi biasanya, orang yang lebih mengutamakan akhiratnya akan sangat peduli dengan dunianya. Kenapa? Karena dunia adalah ladang bagi akhirat. Tak ada akhirat tanpa ada dunia. Masuk surga atau neraka tergantung tindak-tanduk kita di dunia.

Wallahua’lam bis showab.


Surabaya, 31 desember 2015

Badiuzzaman Said Nursi


Saudaraku,  saya ingin menuliskan sekelumit mengenai apa yang pernah saya baca. Beberapa waktu lalu saya membaca novel karya Kang Abik berjudul “API Tauhid”. Di sana saya mendapati sosok ulama luar bisa, Badiuzzaman Said Nursi. Ketika membaca novel itu, keinginan saya untuk meniru ulama hebat ini begitu kuat, walaupun dalam beberapa aspek tampaknya tidak memungkinkan.

Sa’id Nursi memiliki kemiripan dengan Imam Syafi’i dalam beberapa hal. Misalnya, memiliki kecerdasan luar biasa. Sebagaimana Imam Syafi’i, Said Nursi mampu menghafal tulisan satu halaman atau lebih dalam sekali baca. Pernah dia membaca 10 atau 11 halaman dalam sekali, lalu dibacakan lagi tanpa melihat buku tersebut. Hebatnya, tidak ada yang keliru. Dalam usia muda (kalau nggak salah umur 15 tahun), dia sudah mendapat penghormatan sebagaimana Imam Syafi’i, yaitu mengajar orang-orang yang banyak lebih tua darinya. Dipercaya untuk mengajar mereka karena keilmuannya. 

Ayahnya juga memiliki kisah mirip dengan ayah Imam Syafi’i, yaitu berupaya mencari “penghalalan” akan sesuatu yang syubhat kepada ayah mertuanya sebelum mendapat istri. Bedanya, ayah Imam syafi’i yang makan buah dari pohon si mertua, kalau ayah Said Nursi kambingnya yang makan rerumputan di kebun milik mertuanya. Yang wah juga, ibu Said Nursi selalu menyusuinya dalam kondisi suci. Jika dia batal wudhunya, maka segera wudhu dan melanjutkan aktivitas menyusui Said Nursi kecil.

Namun yang lebih aku kagumi adalah tentang perjuangannya sebagai ulama dan keberaniannya. Dia adalah ulama sesungguhnya. Dia adalah ulama pejuang. Dia hidup di era keruntuhan Khilafah Islam. Saat-saat di mana khalifah digulingkan dengan hina pada 1924. Dia juga menghadapi masa sekularisasi terhebat sepanjang sejarah. Adzan tidak boleh pakai bahasa Arab, tidak boleh ada pengajaran al-Quran, perempuan tidak boleh berjilbab, dll. Dia melawan sekularisasi tersbut dengan keilmuannya.  Berulang kali dia dipenjara selama 25 tahun. 

Namun hebatnya, di penjara dia mampu menuliskan kitab Risalah An-Nur yang dia tulis secara bertahap. Ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya. Sering dia menulis di secarik kertas, lalu dilempar keluar melalui jendela penjara agar tidak diketahui petugas penjara. Di luar penjara muridnya  sudah menunggu. Muridnya ini pun menulis ulang dan disebarkan kepada murid-murid Said Nursi yang lain.

 Dari penulisan secara bertahap itulah lahir kitabnya Risalah An-Nur yang berisi petuah-petuah berdasarkan al-Quran. Dan dari kitab inilah kemudian ada komunitas bernama Thullabun Nur, para pelajar yang belajar kitab Risalah An-Nur yang sampai sekarang masih eksis, baik di Turki maupun di negara lain. 

Hebat. Memang ulama sesungguhnya. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari sosok ulama mulia ini.


Surabaya, 30 Desember 2015