Saudaraku, saya akan menuliskan tentang Qiraat dan Qurra’
(para qari’). Tulisan ini saya ambil dari buku yang ditulis oleh Syaikh Manna’
al-Qththan dengan judul “Mabahis fii Ulumil Quran” yang kemudian
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Pengantar Studi Ilmu
Al-Quran”.
Dalam buku tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud
dengan qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Quran yang dipakai oleh
salah seorang imam qurra’ (imam qira’at) sebagai suatu madzhab yang berbeda
dengan madzhab lainnya.
Qira’at itu bermacam-macam jenisnya. Setidaknya disebutkan
oleh Manna’ al-Qaththan bahwa ada 6 macam qira’at. Tapi sebelum saya sebutkan
keenam macam qira’at tersebut, terlebih dahulu mau saya sampaikan syarat-syarat
qira’at yang shahih. Tidak apa-apa kan :)
Syarat yang pertama bahwa subuah qira’at dikatakan shahih
adalah sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Syarat yang kedua adalah sesuai dengan
salah sau mushaf utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Syarat yang
ketiga, isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang
didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat.
Baiklah, tiba saatnya bagi saya untuk menyampaikan enam jenis
qira’at. Siap-siap ya.
Pertama; Mutawatir. Yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah
besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Sanadnya bersambung
hingga penghabisannya, yakni Rasulullah Saw. Inilah yang umum dalam qira’at.
Kedua; Masyhur. Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tapi
tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm
utsmani, serta terkenal di kalangan para ahli qira’at. Para ulama menyebutkan
bahwa qira’at jenis ini termasuk yang dapat dipakai atau digunakan.
Ketiga; Ahad. Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi
menyalahi ratsm utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal di
kalangan para ahli qira’at. Qira’at jenis ini tidak termasuk qira’at yang dapat
diamalkan bacaannya.
Keempat; Syadz. Yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih.
Kelima; Maudhu’. Yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
Keenam; Mudarraj. Yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at
sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu Abbas.
Manna’ al-Qaththan menerangkan bahwa keempat jenis qira’at
yang terakhir (ahad, syadz, maudhu’, dan mudarraj) tidak boleh diamalkan
bacaannya. Lantas kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan qira’at
mutawatir dan masyhur? Jawabannya adalah boleh diamalkan. Hanya saja, yang
boleh dibaca baik di dalam shalat maupun luar shalat adalah yang mutawatir
saja, sedangkan qira’at yang masyhur tidak boleh.
Selanjutnya saya kan menuliskan tentang tujuh imam qira’at
yang masyhur. Kata Manna’ al-Qaththan, Abu Bakar bin Mujahid menyebutkan secara
khusus nama-nama mereka sebagai imam qira’at karena menurutnya mereka adalah
ulama yang terkenal kuat hafalan, teliti, amanah, cukup lama menekuni dunia
qira’at, serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira’atnya.
Siapa saja mereka?
Yang pertama adalah Abu Amru bin al-A’la. Ia wafat di Kufah
pada 154 H. Dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan as-Susi.
Yang kedua adalah Ibnu katsir. Ia termasuk seorang tabi’in,
dan wafat di Mekkah pada 120 H. Dua orang perawinya adalah al-Bazzi dan Qumbul.
Yang ketiga adalah Nafi’ al-Madani. Ia berasal dari Isfahan
dan wafat d Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warsy.
Yang keempat adalah Ibnu Amir asy-Syami. Ia termasuk tabi’in
dan wafat di Damaskus pada 118 H. Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu
Dzakwan.
Yang kelima adalah Ashim al-Kufi. Ia dari kalangan tabi’in
dan wafat di Kufah pada 128 H. Dua orang perawinya adalah Syu’bah dan Hafsh.
Yang keenam adalah Hamzah al-Kufi. Ia dwafat di Hilwan pada
tahun 156 H. Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khallad.
Yang ketujuh adalah al-Kisa’i al-Kufi. Ia wafat di Ranbawaih
dalam perjalanan menuju Khurasan bersama Harun ar-Rasyid pada 189 H. Dua orang
perawinya adalah Abul Harits dan Hafsh ad-Duri.
Hm..Baik, pada bagian akhir saya akan menuliskan tentang
keberagaman qira’at yang shahih. O ya, perlu diingat, bahwa ketujuh Qira’at
yang diriwayatkan oleh tujuh Imam Qira’at di atas termasuk yang shahih dan
mutawatir.
Apa saja faedah dan fungsinya? Manna’ al-Qaththan
menjelaskannya pada halaman 221 sampai 222. Tapi saya hanya akan menyebutkan
poin-poinnya saja. Ada empat faedah dan fungsi dari keberagaman qira’at yang
shahih. Yaitu menunjukkan terpeliharanya al-Quran dari perubahan dan
penyimpangan, meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca
al-Quran, bukti kemukjizatan al-Quran dari segi kepadatan makna, dan penjelasan
terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Oke saudaraku, udah dulu ya. Semoga bermanfaat. :)
Surabaya, 27 November 2014