Sabtu, 16 Januari 2016

Capek Psikologis

Apa sih yang dimaksud dengan capek psikologis? Mungkin kata-kata itu yang terbenak dalam pikiran kita ketika membaca judul di atas. Istilah ini memang unik dan kayaknya tidak akan ditemukan di kamus lengkap bahasa Indonesia sekalipun. Saya pun baru mengetahui istilah ini dari salah satu inspirator hidup saya.

Istilah ini muncul ketika saya konsultasi dengan “sang inspirator” tersebut. Setelah saya menyampaikan unek-unek yang ada di hati, beliau pun menyampaikan bahwa sebenarnya capek psikologis itu perlu diwaspadai, karena bisa jadi itu yang sering menyerang kita. Kalau capek fisik gampang solusinya, yaitu dengan tidur misalnya. Tapi kalau capek psikologis, ini yang susah. 

Capek psikologis menurut beliau terjadi ketika kita tidak enjoy terhadap pekerjaan kita. Kita tidak menikmati apa yang kita lakukan. Hal itu akan menyebabkan motivasi yang ada dalam dada berkurang dan akhirnya lenyap diterbangkan angin kemalasan.

Di antara penyebab capek psikologis ialah kita terpaksa melakukan sebuah pekerjaan. Kita tidak melakukan dengan tulus. Kita tidak mengharapkan ridha Allah, tapi ridha manusia. Padahal kalau terlalu berharap kepada manusia kekecewaanlah yang akan muncul. Sehingga dari ketidaknyamanan itulah yang akan membuat psikologis dan pikiran kita capeh, letih, dan lunglai tak berdaya.

Jadi sudah ada titik terang sekarang. Cara agar tidak capek psikologis ialah, kita berusaha menyenangi aktivitas  yang menjadi amanah dan kewajiban kita. Mudah-mudahan kita termasuk yang terselamatkan dari capek psikologis. Semoga, ;)



Surabaya, 12 Januari 2016





Senin, 11 Januari 2016

Merasa Diawasi Allah


Pernahkan kita sendirian? Hanya ada diri kita, tak ada orang lain. Hanya hidung kita yang nampak. Tak ada manusia lain.

Ketahuilah, bahwa jika kita merasa sendirian, berarti iman kita masih cukup bermasalah. Tauhid kita masih termasuk tauhid yang kropos, belum kuat.

Mengapa bisa demikian? Karena iman yang sehat itu membuat kita tidak pernah sendirian. Kita merasa bahwa selalu saja ada yang mengawasi kita, yaitu zat Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui.

Orang yang merasa diawasi oleh Allah akan selalu merasa tenang hidupnya. Dia tak memiliki rasa khawatir karena dia yakin bahwa dia selalu berada dalam naungan dan perlindungan-Nya. Dia juga tidak mau melakukan dosa. Karena dia yakin bahwa Allah pasti melihat perbuatan bejatnya.

Sungguh beruntung orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah. Sungguh bahagia hidup orang-orang yang selalu merasa dilihat dan didengar oleh-Nya.  Semoga kita mampu menjadi bagian dari orang-orang tersebut. Amiin.


Surabaya, 11 Januari 2016




Minggu, 10 Januari 2016

Berkembang


Semua yang hidup pastilah berkembang. Manusia, hewan, dan tumbuhan pasti berkembang. Ada perubahan dari kecil ke besar, dari pendek ke panjang, dan dari rendah ke tinggi.
 
Perkembangan ini biasanya akan jelas terlihat pada perubahan fisik. Sebuah pohon kelapa tidak akan langsung menjadi pohon yang tinggi menjulang. Ia dimulai dengan tunas yang tumbuh dari buah kelapa. Setelah ditanam ke dalam tanah, mulailah perlahan-lahan pohon itu membesar dan meninggi. Begitu juga dengan hewan. Begitu juga dengan manusia.

Namun khusus untuk manusia, ada perbedaan dengan hewan dan tumbuhan. Pada diri manusia, pertumbuhan dan perkembangan tidak hanya terjadi pada fisik. Lantas apa?

Pertumbuhan dan perkembangan pada manusia juga melibatkan emosional, intelektual, kemampuan berbahasa, kemampuan menganalisa, dan lain-lain. Misalnya ketika manusia masih berupa bayi dia tidak bisa bicara, namun ketika besar dia pandai ber cas cis cus. Ketika kecil seseorang dikenal sosok pemalu, namun seiring berjalannya waktu dia bisa saja mampu tampil percaya diri di khalayak ramai. 

Contoh perkembangan lainnya adalah pada peningkatan ilmu. Ketika kecil, kita belum bisa membaca. Kita belum tahu huruf a, b, c, sampai z. Kita belum bisa merangkai huruf-huruf tersebut menjadi kata dan kalimat yang memiliki makna tersendiri. Barulah setelah masuk SD kita mampu membaca dengan baik. Tentunya ada perkembangan di sini, dari tidak bisa membaca menjadi mampu membaca.

Dari fakta tersebut dapat diketahui bahwa  manusia memang diciptakan untuk terus berkembang dalam semua aspek, tidak hanya aspek fisik saja sebagaimana hewan dan tumbuhan. Maka dari itu ketika tidak ada perkembangan dalam diri kita, kita harus megevaluasi diri dan kalau perlu merenung sejenak. Mengapa kita kok begini-begini aja. Mengapa tidak ada perkembangan dalam diri. Mengapa ilmu, karya, finansial, keahlian dalam bidang tertentu dan hal-hal lainnya tidak mengalami perkembangan. 

Setelah mengevaluasi diri, hendaknya kita membuat program-program pribadi yang akan menjadikan diri kita berkembang. Program-program pribadi itulah yang akan menjadi acuan kita dalam meningkatkan diri. 

Kita berharap agar kita bisa mengembangkan diri dalam aspek-aspek tertentu dalam hidup kita. Karena kalau tidak ada pertumbuhan dan perkembangan dalam diri, maka hidup kita patut dipersoalkan. Mengapa perlu dipersoalkan? Karena ciri-ciri hidup adalah bertumbuh dan berkembang. 

Kalau tak bertumbuh dan tak berkembang, maka itu pertanda tak ada kehidupan dalam kita. Kalau sudah begitu, sebagaimana disampaikan Imam Syafi’i, kita layak ditakbirkan 4 kali lantaran sudah mati. Kita sudah layak dianggap mayat berjalan. Hidup tapi mati. Bernyawa namun divonis meninggal. Apa kita mau menjadi makhluk yang menakutkan seperti itu?



Surabaya, 10 Januari 2016



Jumat, 08 Januari 2016

Pengaruh Istri terhadap Kesuksesan Suami

Perempuan adalah makhluk yang unik. Kalau membicarakan tentang perempuan tidak akan ada habisnya. Lembaran sejarah dari masa ke masa sudah banyak yang menuliskannya. 

Perempuan punya keunikan yang mampu membuat sesuatu yang positif berada pada tempat tertinggi, namun sekaligus bisa menjadikan hal yang negatif berada pada titik paling bawah. Karena wanitalah (baca: istri) para pemimpin dunia mampu mempengaruhi suaminya memperoleh prestasi-prestasi serius sehingga negara aman sejahtera dan disegani oleh negara lain serta menjadi negara yang diliputi kedamaian sepanjang sejarah. Namun perempuan juga lah yang menjadikan seorang pemimpin negara menjadi pemimpin diktator, bengis dan kejam pada rakyatnya. 

Itulah keunikan dari perempuan yang kita temui pada level tinggi, yaitu sebuah negara. Bagaimana dengan level yang rendah, apa keunikan perempuan?

 Sebenarnya sama saja. Hanya beda level. Perempuan yang hebat akan menjadikan suaminya bangkit dan menjadi orang besar. Menjadikan suaminya meraih mimpi-mimpinya.

Makanya ada yang mengatakan, dibalik laki-laki hebat pasti ada istri-isri yang hebat.

Hm...Mari kita buktikan.



Surabaya, 8 Januari 2016

Rabu, 06 Januari 2016

Prestasi


 Setiap orang seharusnya terus memperoleh prestasi dalam hidupnya. Prestasi itu dibutuhkan agar kualitas seseorang meninggi. Karena Allah yang menciprakannya menginginkan agar hidupnya berkualitas, tidak biasa-biasa saja.

Namun ketahuilah bahwa prestasi tidak harus berupa piala yang diusung ke atas panggung ataupun penghargaan semacamnya. Prestasi adalah sesuatu yang bisa kita capai dan kita raih. Misalnya kita punya target membaca buku selama satu jam dan ternyata kita mampu melakukan itu. Maka itu juga bisa disebut sebagai prestasi. Dia mampu mengisi hidupnya dengan perbuatan-perbuatan yang berkualitas.

Dari sini kemudian bisa dipahami bahwa setiap manusia punya potensi untuk berprestasi. Prestasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Tidak didominasi oleh kelompok tertentu. Siapapun bisa berprestasi. 

Prestasi bermacam-macam kedudukannya. Ada prestasi kecil, restasi sedang, dan prestasi besar. Lantas bagi seorang muslim, apa prestasi terbesarnya? Jawaban dari pertanyaan itu adalah surga yang agung. Masuk ke dalam surga adalah prestasi terbesar seorang yang beriman. Tidak ada lagi prestasi yang mengalahkannya.

Namun patut diingat kembali bahwa surga pun bermacam-macam. Surga memiliki tingkatan-tingkatan. Dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Nah, jadi prestasi tertinggi seorang muslim adalah masuk surga yang tingkatannya paling tinggi.

Semoga kita termasuk orang-orang yang memiliki prestasi tertinggi. Amiin.



Surabaya, 7 Januari 2016

Syukur


Kalau ada orang yang tak mau mengucapkan terima kasih kepada yang membantunya, disebut sebagai orang yang tak tahu berterimakasih. Lantas bagaimana dengan orang yang tak bersyukur kepada Allah, dia disebut apa? Orang yang tak tahu bersyukur?

Saudaraku, sungguh besar nikmat Allah yang berikan. Tak mampu kita menghitungnya. Tak mampu kita merinci dengan detail, apa saja nikmat yang Allah berikan. Jika kita membeli buku yang sangat tebal, lalu kita tulis satu persatu apa saja nikmat yang Allah berikan, maka buku itu tidak akan muat. Kalaupun  ada banyak buku yang diberikan kepada kita, maka tetap tidak akan muat sekalipun jumlah buku itu sebanyak jumlah manusia, sejak nabi Adam hingga akhir zaman. 

Saudaraku, selain tidak bisa dihitung, nikmat juga tidak bisa kita sadari dengan rasa sadar yang teramat tinggi sebelum kita kehilangan nikmat itu. Setelah Allah mencabut salah satu nikmat yang Allah berikan, baru kita sadar sesadar-sadarnya bahwa nikmat Allah tersebut sungguh sangat besar dan begitu bermanfaat untuk kita.

Lantas, seperti apa konsep syukur yang benar? Konsep syukur yang benar adalah perasaan terima kasih yang teramat besar dalam hati. Lalu setelah itu diungkapkan dengan lisan berupa ucapan “alhamdulillah”. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah bersyukur dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Bersyukur dengan karya yang kita persembahkan untuk ummat. Syukur yang dinamis, bukan statis.

Apakah kita sudah termasuk orang yang suka bersyukur? Atau, apakah kita termasuk orang-orang yang jarang bersyukur? Atau, jangan-jangan kita termasuk orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat yang Allah berikan? Hm...Semoga kita mampu menjadi pribadi-pribadi bersyukur, baik dengan hati, lisan, ataupun dengan ketaatan. Amiin.



Surabaya, 6 Januari 2016









Menyesal


Rasa penyesalan dalam hati ada dua macam, jelek dan baik. Jelek ketika penyesalan itu sangat mengganggu dan merusak diri. Yang ada adalah ratapan-ratapan kosong yang membuat masa depan suram. Kata yang keluar dari lisannya adalah “seandainya” dan “kalau saja”. Dia sering berandai-andai dan melamun namun tak ada aksi apapun dalam hidupnya yang bermanfaat bagi dirinya ataupun orang lain.

Orang semacam ini akan cenderung menyalahkan takdir. Dia tanpa sadar melakukan protes terhadap ketentuan Allah. Dia mengira hubungannya baik dengan Allah, padahal Dia sendiri yang merobek hubungan itu dengan cara tidak meridhai dan menerima apa yang Allah tentukan. 
Namun, ada juga penyesalan yang baik. Penyesalan yang baik adalah penyesalan yang membawa dampak positif. Setelah ada rasa penyesalan, dia kemudian berusaha lebih baik dari sebelumnya. Jika sudah begini, maka rasa menyesal bisa dikatakan sebuah kewajiban. Dia wajib menyesal agar dia bisa lebih baik. 
Orang yang sering melakukan dosa juga wajib menyesal agar dia diterima taubatnya oleh Allah. Kalau tak ada rasa menyesal, maka taubatnya tidak akan diterima. Karena kalau tidak ada rasa penyesalan dalam diri, berarti masih ada keinginan untuk melakukan dosa itu. Dia berpandangan bahwa dosa itu adalah sesuatu yang nikmat. Dia merasa ketagihan. Dia ingin melakukan dosa itu lagi. 

Jika itu yang terjadi, maka istighfar yang ia ucapkan berkali-kali dalam wiridnya tak akan berguna sama sekali. Kenapa? Karena dia tak menyesali perbuatannya. Ketika dia tak menyesal, maka dia tak akan ada keinginan untuk berhenti melakukan.

Oh, alangkah pentingnya menyesal yang seperti ini. Berbeda dengan penyesalan sebelumnya. Semoga kita bisa terbebas dari rasa penyesalan yang negatif dan mampu memiliki rasa penyesalan yang positif, agar Allah sayang kita dan kita menjadi orang-orang yang baik di sisi-Nya. Amiin.


Surabaya, 5 Januari 2016








Taubat



Manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa. Dalam bahasa Arab, manusia disebut insan yang artinya lupa. Itu menunjukkan bahwa lupa dan salah sudah menjadi sifat manusia.

Maka dari itulah, ada sebuah keterangan dalam al-Quran bahwa orang yang bertakwa bukanlah mereka yang tak pernah berbuat salah. Yang dimaksud orang bertakwa adalah mereka yang ketika melakukan kesalahan kemudian ingat kepada Allah dan meminta ampun kepada-Nya. Setelah itu, dia tidak lagi melakukan kesalahan tersebut.

Ketika seseorang beristighfar meminta ampun kepada Allah dan tak lagi mengulangi kesalahan yang sama, maka dia sedang bertaubat. Dia kembali kepada Allah, kembali ke jalan yang benar dan lurus.

Taubat yang benar adalah taubat yang tak sekedar mengucapkan istighfar di bibir. Tapi taubat yang benar adalah taubat yang diiringi dengan rasa bersalah di hati. Selain rasa bersalah ada hal lain, yaitu penyesalan yang mendalam atas apa yang sudah dia lakukan. Dan terakhir, dia tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.

Jadi, taubat itu teramat susah. Sangat susah. Makanya orang yang bertaubat dan diterimanya taubat adalah orang-orang yang beruntung, karena akan dicintai oleh Allah. Allah berfirman, “Innalllaha yuhibbut tawwabiina wayuhibbul muthathohhirin”, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri”.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bertaubat? Pernahkah kita bertaubat? Apakah taubat kita sudah benar?



Surabaya, 4 Januari 2016







Sabtu, 02 Januari 2016

Kasih Sayang


Allah adalah zat Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semua makhluk Dia kasihi, muslim maupun kafir. Tapi Dia hanya menyayangi orang-orang yang beriman, terlebih mereka yang bergelar muttaqin dan sholihin.

Sifat kasih dan sayang yang Allah miliki Dia berikan juga kepada manusia. Walau, rasa kasih manusia kalah jauh dengan kasih dan sayang Allah. Bila diibaratkan, seperti satu tetes air dan air di lautan. 

Dengan kasih sayang yang manusia miliki terciptalah keharmonisan dan kebahagiaan di antara manusia. Keharmonisan dan kebahagiaan itu bisa diciptakan karena ada saling menolong di antara mereka.  

Kasih sayang yang dimiliki antara  manusia yang satu dengan lainnya terkadang menipis bahkan hilang. Sehingga yang ada hanyalah kebencian dan rasa saling curiga. Kalau sudah begini, permusuhan dan pertumpahan darah bisa tercipta. Atau minimal, tidak ada aktivitas saling menegur dan menyapa.

Kalau kasih dan sayang menghilang dalam diri, maka kehancuranlah yang akan menimpa. Tidak ada bencana kehidupan yang lebih dahsyat dari hilangnya rasa kasih dan sayang. Tanpa kasih dan sayang, seorang bayi bisa dibunuh hidup-hidup olh ibunya sendiri, seorang ayah menggorok lehernya, seorang istri menikam dada suaminya, dan lain-lain.

Maka dari itulah, sungguh penting rasa kasih dan sayang dalam diri kita. Semoga kita senantiasa memiliki sifat yang mulia ini. Semoga rasa kasih dan sayang dimiliki antar sesama terus menguat dan meninggi. Amiin.



Surabaya, 3 Januari 2016

Pendengar yang Baik



Mengapa Allah menciptakan telinga berjumlah dua sedangkan lisan hanya satu? Apa hikmahnya? Hikmah yang bisa kita petik yaitu agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. 

Banyak di antara kita yang merasa kesulitan  menjadi pendengar yang baik. Tidak mudah mendengarkan dengan seksama apa yang orang lain sampaikan atau ceritakan. Apalagi ketika ada pekerjaan yang ingin segera diselesaikan. Biasanya kita ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan dan meninggalkan lawan bicara kita yang sedang asyik bercerita.

Padahal, untuk mendapatkan teman yang baik dan sayang kepada kita caranya adalah menjadi pendengar yang baik. Orang yang didengar akan merasa nyaman berada di dekat kita. Mereka akan merasa plong ketika menyampaikan apa yang diutarakan  kepada kita. Sekalipun kita tidak mampu membantu menyelesaikan masalah, mereka tetap senang ketika kita mau mendengarkan.

Rasulullah Saw adalah teladan utama dalam urusan mendengarkan ini. Suatu ketika, seorang ahli orator kaum Quraisy diutus untuk mempengaruhi nabi Muhammad Saw dengan kedahsyatan dan kekuatan kata-katanya. Di hadapan Rasulullah Saw dia sampaikan kata-kata memukau dan silau dalam waktu yang lama. Rasulullah Saw dengan sabar menunggu semua ucapan yang dilontarkan tanpa memotong sedikitpun. Setelah utusan itu selesai berbicara, Rasulullah Saw kemudian bertanya, “Apakah kamu sudah selesai?” Sang orator itu pun mengiyakan pertanyaan Rasulullah Saw. 

Kemudian Rasulullah Saw membacakan sebuah ayat al-Quran  yang membuat sang orator terdiam. Dia sempat merenungi bacaan ayat al-Quran tersebut. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil mempengaruhi nabi Muhammad Saw. 

Ada pelajaran dari apa yang Rasulullah Saw lakukan, yaitu hendaknya kita tidak memotong lawan bicara ketika sedang asyik ngomong. Karena secara psikologis orang yang dipotong omongannya akan merasa jengkel dan tidak diterima. Walaupun yang disampaikan adalah kebaikan, tapi hati dongkol dan jengkel maka kebaikan itu sulit masuk ke hati. Jadi, seni mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan sangat penting dalam kehidupan kita.

Itulah kekuatan mendengar. Semoga kita bisa menjadi pendengar yang baik. Amiin.



Surabaya, 2 Januari 2016

Jumat, 01 Januari 2016

Takut kepada Allah


Pernahkah kita merasa takut kepada Allah? Kalau belum pernah, berarti sungguh celaka diri kita. Karena derajat kita di hadapan Allah di antaranya diukur oleh tingkatan rasa takut kita kepada Allah. Semakin besar rasa takut kita kepada Allah, semakin tinggi derajat kita di sisi-Nya. Kalaulah tak ada rasa takut dalam diri kita kepada-Nya itu menandakan diri kita jauh dari-Nya. Berarti kita memiliki derajat yang rendah dibandingkan makhluk Allah lainnya.
 
Takut kepada Allah berbeda dengan takut kepada manusia atau hewan buas. Kalau takut kepada manusia atau hewan buas kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menjauh dan menghindar. Sebaliknya, seseorang yang takut kepada Allah akan berusaha sekuat tenaga untuk mendekat kepada-Nya. Karena dia tahu, bahwa Allah memiliki sifat yang lain, yaitu Maha Pengasih dan Penyayang.  Dia berharap Allah akan memberikan kasih dan sayang-Nya.

Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang takut pada neraka Allah, siksaan yang Allah sediakan di akhirat. Dia yakin bahwa Allah Yang Maha Adil akan melaksanakan segala sesuatu dengan seadil-adilnya. Apalagi dari berbagai keterangan yang ada di al-Quran dan Sunnah, siksaan Allah di neraka itu sungguh sangat menakutkan dan mengerikan. Beribu-ribu kali lipat kengeriannya dibandingkan siksaan di dunia.

Maka dari itulah orang yang takut kepada Allah ketika mengingat dosa-dosanya akan menangis. Ketika mendengar ayat-ayat tentang neraka dia juga akan sesenggukan karena ketakutan. Dalam dirinya terdapat perasaan yang menggetarkan. Rasa takut yang luar bisa, seolah-olah neraka ada di hadapannya.

Di antara cara mengetahui perbedaan orang yang takut kepada Allah dengan orang yang tak memiliki rasa takut kepada-Nya adalah penyikapan atas dosa yang dilakukan. Bagi yang takut kepada Allah, ketika melakukan suatu dosa ia merasa bahwa dosa itu sangat besar sebesar gunung dan seolah-olah gunung itu hampir jatuh mengenai kepalanya. Sebaliknya bagi yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah dia akan merasa bahwa dosa yang dilakukan hanyalah seperti lalat yang hinggap di hidungnya. Dia sangat menyepelekan dosa yang ia lakukan.

Selain itu, orang yang takut kepada Allah biasanya akan selalu merasa bahwa dia selalu diawasi oleh-Nya. Dia benar-benar sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Walau sendirian, dia tetap tak mau melanggar perintah Allah, karena dalam dirinya terdapat perasaan bahwa Allah selalu melihat, mendengar, dan mengawasinya setiap waktu. Adapun yang tak memiliki rasa takut kepada-Nya, ketika sendirian ia merasa bebas melakukan apapun sesuai keinginannya karena berpikir bahw tak ada orang yang akan tahu. Dia tahu bahwa Allah melihat apa yang dia kerjakan, tapi dia dibutakan oleh setan dan hawa nafsunya sendiri.

Akhirnya, tiba saatnya kita mengaca diri, termasuk yang mana kita. Takut kepada Allah atau tidak takut (berani)? Jawaban kita menunjukkan kualitas keimanan kita di sisi-Nya.


Surabaya, 1 Januari 2016