Alhamdulillah saudaraku,
akhirnya aku nulis lagi. Aku ingin menulis di sini sesering mungkin. Semoga
bisa. Amin.
Saudaraku, saya baca
buku lagi tulisan Harun Nasution yang berjudul “Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution”. Kali
ini saya baca sub judul tentang “Sekitar Pendapat Filosof Islam tentang Emanasi
dan Kekekalan Alam”.
Membaca tulisan ini,
saya dibawa ke ranah perdebatan antara
kaum filosof Islam dan Teolog Islam terkait seputar Allah dan semesta alam. Tapi anehnya, di
tulisan ini tidak dicantumkan sama sekali tentang pendapat para ulama
ahlussunnah wal jama’ah. Yang dipaparkan justru pendapat beberapa tokoh dan
aliran yang “terpinggirkan” dalam dunia Islam disebabkan ‘keanehan’ cara
berpikir mereka. Beberapa kata seperti “emanasi”, “qadim”, “qidam”, “hadits”,
“muhdats”, ataupun “azal” sering dimunculkan dalam tulisan ini.
Di antara yang dia kupas
adalah pendapat para tokoh Muktazilah, Al-farabi, ataupun Ibnu Rusyd. Tidak ada
satu pun ulama ahlussunnah yang dia cantumkan. Kalaupun ada, itupun ditaruh di
belakang, tapi tidak dicantumkan referensinya. Tokoh yang dimaksud adalah Ibnu
Taimiyah. Dia hanya menuliskan, “Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian”,
tanpa menyebutkan dalam buku apa Ibnu Taimiyah menuliskan dan bagaimana
redaksinya. Sebenarnya ada ulama ahlussunnah lain yang dia sebut, yaitu Imam
Gazali. Akan tetapi, pendapat Imam Gazali dicantumkan hanya untuk mengatakan
bahwa pendapat para teolog atau filosof
ini tidak sampai jatuh pada kekafiran, melainkan hanya bid’ah. Jadi
Harun Nasution membela pendapat mereka. Yaitu pendapat tentang emanasi, wahdat al-wujud (kesatuan wujud),
qidamnya alam, dan lain-lain.
Pertanyaannya, mengapa
Harun Nasution tidak mencantumkan pendapat tokoh ahlussunnah yang lain secara
detail? Ulama Asy’ariyah, misalnya. Atau para ulama baik dari kalangan
Asy-Syafi’iyah, Al-hanafiyyah, Al-Malikiyah, atau Al-Hanabilah. Mengapa?
Mengapa justru yang dimunculkan adalah mu’tazilah, lalu ada nama Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan ibnu Rusyd?
Terlepas dari itu,
memang cara menulis Harun Nasution di tulisan ini patut diacungi jempol. Enak
dibaca. Pembahasan ini sebenarnya ruwet dan sulit dipahami. Walau memang saya
pribadi tetap harus pelan-pelan bacanya karena pembahasan ini tidak mudah,
serta tidak sedikit kata-kata sulit muncul. Hehe. Biasa, pemula.
Saudaraku, dari tulisan
Harun Nasution ada suatu pendapat yang dikemukakan penulis yang membuat saya
sempat mengiyakan dan hampir ikut
membenarkan pendapat ini. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Rusyd. Pendapat ini
berlawanan dengan pendapat Imam Gazali serta ulama ahlusunnah lainnya. Akan
tetapi, Harun Nasution dengan gaya deskriptifnya membantah pendapat mereka
dengan argumentasi dan dalil yang dikemukan Ibnu Rusyd.
Jadi gini, ada
perdebatan sengit tentang pencintaan. Kalau menurut Imam Gazali dkk, penciptaan
yang dilakukan oleh Allah adalah dari yang tiada kemudian menjadi ada. Kun, fayakun. Jadilah, maka jadilah iya.
Yang awalnya tidak ada, kemudian dibuat ada oleh Allah. Akan tetapi kalau
menurut Ibnu Rusyd dkk (kaum filosof) sebagaimana dipaparkan Nasution
berpendapat bahwa penciptaan haruslah dari sesuatu yang ada. Harun Nasution
kemudian mencantumkan pendapat Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa, menciptakan
ialah mengubah yang ada dari suatu sifat ke sifat yang lain dan bukan mengubah
yang tidak ada menjadi ada”.
Hm…ketika membaca
tulisan tentang ini, saya sempat berpikir, kok aneh ya pendapat ini. Yang saya
tahu ya, menciptakan itu dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Masak
menciptakan itu hanya merubah dari suatu sifat ke sifat yang lain? Saya
membandingkan dengan pembuatan mobil atau motor. Kalau hanya mengubah besi
menjadi bentuk yang lain berupa mobil atau motor ya, bukan penciptaan,
melainkan pembuatan. Begitu juga dengan pembuatan intan dari batok kelapa, itu
juga bukan penciptaan.
Tapi kemudian saya
cukup tersentak ketika Ibnu Rusyd menguatkan argumentasinya dengan dalil dari
al-Quran. Yaitu surat Al-Mu’minun: 12-16, Hud;:7, dan Fusshilat:11. Ayat pertama menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari intisari tanah, ayat yang kedua secara implisit berarti air
diubah menjadi langit dan bumi; dan ayat ketiga menggambarkan uap diubah
menjadi langit. Hm…betul juga ya, pikir saya waktu itu. Ternyata Allah
menciptkan manusia dari tanah. Lalu, Allah menciptakan langit dari uap/asap.
Berarti betul dong Ibnu Rusyd. Berarti salah dong Imam Gazali.
Namun tidak beberapa
lama kemudian timbul pertanyaan kritis dari saya, kalau memang manusia
diciptakan dari tanah dan langit diciptkan dari uap, lalu tanah dan uap itu
diciptakan dari apa? Apakah Allah menciptkannya dari benda lain? Mana buktinya?
Atau, memang betul Imam Gazali dan ulama lain, bahwa Allah menciptakan sesuatu
yang tidak ada kemudian menjadi ada? Nah, setidaknya pertanyaan kritis saya ini
–menurut saya yang orang awam- membantu saya untuk tidak langsung membenarkan
Ibnu Rusyd ini.
Selain itu saudaraku,
yang membuat saya tetap membela Imam Gazali dan ulama ahlussunnah lainnya
adalah, bahwasanya pendapat para filosof semacam Al-Farabi dkk terpengaruh oleh
filsafat Yunani. Terpengaruh pandangan dari luar islam yang mana banyak
bertentangan dengan Islam. Contohnya adalah konsep emanasi yang dikemukan para
filosof ini sebenarnya –istilah sarkastiknya- hanyalah membeo pendapat filosof
Plotinus yang berasal dari Yanuni. Dan memang, pendapat ini ternyata memuat
banyak kelemahan dan sangat membahayakan keimanan. Wallahua’lam bish showab.
Panceng, Gresik, 30
Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar