Senin, 30 Desember 2013

Ternyata Harun Nasution Membela Muktazilah

Saudaraku, senang rasanya menulis lagi. Targetku adalah setiap hari menulis. Tapi ternyata kemarin tidak menulis. Tapi tidak mengapa, karena Alhamdulillah sekarang saya menulis lagi.

Saudaraku, karena kemarin saya tidak menulis, maka kali ini saya akan menuliskan (berupa respon atau analisa, atau apalah) 2 sub judul dari buku Harun Nasution yang berjudul “Islam Rasional”. Dua sub judul yang dimaksud adalah ‘Masalah Akal dan Akhlak’, dan ‘Pandangan Islam tentang Keadilan’.

Terkait yang ‘Masalah Akal dan Akhlak’, ada tulisan Harun Nasution yang saya tidak setuju. Di antaranya, dia menuliskan bahwa pelajaran agama yang diberikan secara tradisional (seperti yang diterapkan di pondok-pondok pesantren salaf di Indonesia serta lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Mekah, Madinah, atau al-Azhar ) tidak mementingkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak. Yang banyak dijalankan dalam lembaga-lembaga ini menurutnya guru memompakan pengetahuan keagamaan ke dalam anak didik. Sebaliknya, lanjut dia, Institut Studi Islam yang ada di dunia Islam maupun Barat dengan kurikulumnya yang berbeda menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.

Harun Nasution Lebih Mengutamakan Filosof?




Alhamdulillah saudaraku, akhirnya aku nulis lagi. Aku ingin menulis di sini sesering mungkin. Semoga bisa. Amin.

Saudaraku, saya baca buku lagi tulisan Harun Nasution yang berjudul “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran  Prof. Dr. Harun Nasution”. Kali ini saya baca sub judul tentang “Sekitar Pendapat Filosof Islam tentang Emanasi dan Kekekalan Alam”. 

Membaca tulisan ini, saya dibawa ke ranah perdebatan antara  kaum filosof Islam dan Teolog Islam terkait seputar  Allah dan semesta alam. Tapi anehnya, di tulisan ini tidak dicantumkan sama sekali tentang pendapat para ulama ahlussunnah wal jama’ah. Yang dipaparkan justru pendapat beberapa tokoh dan aliran yang “terpinggirkan” dalam dunia Islam disebabkan ‘keanehan’ cara berpikir mereka. Beberapa kata seperti “emanasi”, “qadim”, “qidam”, “hadits”, “muhdats”, ataupun “azal” sering dimunculkan dalam tulisan ini.

Di antara yang dia kupas adalah pendapat para tokoh Muktazilah, Al-farabi, ataupun Ibnu Rusyd. Tidak ada satu pun ulama ahlussunnah yang dia cantumkan. Kalaupun ada, itupun ditaruh di belakang, tapi tidak dicantumkan referensinya. Tokoh yang dimaksud adalah Ibnu Taimiyah. Dia hanya menuliskan, “Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian”, tanpa menyebutkan dalam buku apa Ibnu Taimiyah menuliskan dan bagaimana redaksinya. Sebenarnya ada ulama ahlussunnah lain yang dia sebut, yaitu Imam Gazali. Akan tetapi, pendapat Imam Gazali dicantumkan hanya untuk mengatakan bahwa pendapat para teolog atau filosof  ini tidak sampai jatuh pada kekafiran, melainkan hanya bid’ah. Jadi Harun Nasution membela pendapat mereka. Yaitu pendapat tentang emanasi, wahdat al-wujud (kesatuan wujud), qidamnya alam, dan lain-lain.  

Kritikan Harun Nasution terhadap Salah Satu Konsep Barat



Saudaraku, sudah lama saya tidak menulis di blog tercinta ini. Sekitar 17 hari aku vakum. Terakhir kali aku nulis di sini tentang 3 judul dari buku Harun Nasution. Saya punya keinginan, untuk sedikit mengomentari tulisan Harun Nasution dari setiap sub judulnya. Semoga bisa.

Baiklah, kalau sebelumnya aku mengomentari 3 sub judul, sekarang cukup satu saja. Yang sekarang ini judulnya adalah “Konsep Manusia Menurut Islam”.

Minggu, 20 Oktober 2013

Tentang 3 judul dari Buku Harun Nasution


Saudaraku, sudah lama saya tidak nulis di blog tercinta ini. Blog yang akan menjadi pemacuku untuk berkarya. Blog yang akan menjadi tempatku untuk belajar menulis. Blog yang akan mengantarkanku menjadi penulis besar. InsyaAllah.

Saudaraku, sekarang ini saya memegang buku berjudul “Islam Rasional” yang ditulis oleh Harun Nasution. Selama ini, saya hanya mengetahui bahwa Harun Nasution adalah salah satu rektor UIN (Universitas Islam Indonesia) yang memiliki banyak pengaruh, terutama dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah, dia termasuk yang mengubah wajah UIN sehingga menjadi seperti sekarang. Bukunya menjadi buku wajib yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa UIN (kalau nggak salah judul bukunya adalah “Islam ditinjau dari beberapa Aspeknya”). Padahal katanya, bukunya bermasalah karena terdapat pemikiran liberal di dalamnya. Itu yang saya ketahui. Bahkan, dia disebut-sebut sebagai salah satu orang yang menjadikan sekian pelajar Indonesia memiliki pemikiran liberal. 

Dan sekarang, ternyata saya telah memegang salah satu bukunya. Saya masih membaca bagian awal saja, termasuk kata pengantarnya. Yang sudah baca adalah tulisan yang berjudul “Sekitar Masalah Memahami Isi al-Quran”, “Al-Quran Mengandung Segala-galanya?”, dan “masalah Universalitas Islam”.

Senin, 29 Juli 2013

Kritikan untuk Muhammad Abduh dari Maryam Jamilah

Apa yang anda ketahui tentang Muhammad Abduh?

Selama ini, saya pribadi hanya mengenal bahwa ia adalah orang mesir dan tokoh pembaharu. Itu saja. Akan tetapi, setelah baca buku Maryam jamilah berjudul "Islam dan Modernisme", sedikir banyak informasi yang aku dapatkan bertambah.


Selama ini, aku mendapat hal-hal positif dari sosok Muhammad Abduh. Tidak ada yang negatif. Informasi terakhir yang saya dapatkan, dia pernah "dicatut" namanya oleh tokoh liberal dalam tulisannya.

Sabtu, 15 Juni 2013

Maryam Jamilah? Siapakah Dia?

Penulis perempuan muslim bernama Maryam Jamilah membuat saya penasaran. Sekitar satu tahun yang lalu, saya pernah melihat namanya sebagai penulis buku penentang feminisme. Tapi waktu itu saya tak begitu tertarik membaca, karena kalau nggak salah, tulisannya yang saya temui  belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan, teman-teman saya tidak membahasnya saat ada diskusi di kelas. 

Saya tertarik ketika mendapatkan informasi tentangnya di novel kang Abik yang berjudul "Bumi Cinta". Bahwa, ternyata Maryam Jamilah awalnya adalah seorang Yahudi yang kemudian beralih menjadi muslimah. Sesuatu yang luar biasa menurut saya. Seorang Yahudi? Masuk Islam? Koq bisa? Begitulah pemikiran yang ada di kepala saya waktu itu.

Jumat, 31 Mei 2013

Saya bukan orang HTI, Tapi...



Saya bukan orang HTI. Saya orang Islam. Saya mau menulis di sini, karena ada yang “alergi” dengan kata ‘khalifah’ atau ‘khilafah’. 

Padahal, kata ‘khilafah’ masih ada pada tahun 1924/1926. Artinya, khilafah baru tidak ada sejak 88/86 tahun yang lalu. Jadi, hanya 88/86 tahun tidak ada khilafah. Adapun sejak sahabat Abu Bakar As-Shiddiq sampai tahun 1924/1926, khilafh telah berdiri selama ribuan tahun. Bukankah zaman Abu Bakar adalah abad ke-6, sedangkan khilafah runtuh pada abad ke-19. Jadi, ada 14 abad alias 1.400 tahun. Ingat, khilafah telah eksis selama 1.400 tahun, sedangkan khilafah baru tidak ada selama 88/86 tahun saja. 

Tidak hanya alergi, tapi mereka juga mengatakan bahwa membangun khilafah itu utopia alias mustahil. Kenapa? Coba bayangkan, kata mereka, khilafah itu mengharuskan negara-negara yang ada sekarang berada di bawah naungan “presiden” yang bernama “khalifah”. Jadi presiden Indonesia, SBY misalnya, nanti hanya akan menjadi gubernur, sebagaimana Mesir di zaman kekhalifahan dulu tidak punya presiden, tapi hanya punya gubernur. Selain itu, sekarang ada PBB. Wah, gimana ini. Nanti tidak jelas dong kalau ada khilfah. Nggak usahlah mengenang masa lalu terlalu dalam. Nggak usahlah terlalu larut dalam romantisme sejarah. Sekarang ya sekarang, nggak usah menoleh ke masa lalu. Hidup sudah modern, koq masih melihat yang “kuno”. Astaghfirullah....

Auguste Comte...Auguste Comte...



Orang seperti Auguste Comte telah membagi 3 tahap evolusi. Tahap teologis, tahap metafisika, dan tahap positivistik. 

Katanya, tingkatan tertinggi adalah tahap positivistik, yang ciri-cirinya ilmiah, tidak ada unsur teologis dan metafisika. Itu artinya, semakin meninggalkan Tuhan atau yang ghaib, akan semakin maju. Astaghfirullah...

Inikah pendapat/pemikiran “tokoh” yang dipuja-puji itu? Baiklah, menurut banyak orang ia adalah tokoh. Menurut saya, iya, dia tokoh. Tokoh yang menggiring pada kesesatan.

Tidak boleh takut dicap radikal. Tidak ditakutkan dicap fundamentalis. Karena pada hal-hal tertentu, itu sangat baik sekali, bahkan teramat baik.

Perang pemikiran itu dahsyat sekali. Maka hendaknya menguatkan aqidah agar tidak tersesat. Agar tidak salah jalan.



Kamis, 23 Agustus 2012