Pernahkah
dengar cerita tentang seorang hamba sholeh bernama Luqman al-Hakim beserta anaknya
yang mengendarai keledai? Di sini saya ingin menuliskan tentang hal itu agar
bisa menjadi ibrah bagi kita semua dalam meniti jembatan kehidupan ini.
Luqman
al-Hakim suatu ketika pergi bersama anaknya pergi menuju pasar. Luqman
memutuskan anaknya saja yang naik keledai itu, sedangkan ia sendiri berjalan
sambil memegangi tali kekang keledai.
Di
tengah perjalanan mereka bertemu dengan seseorang. Orang tersebut berkomentar,
“Anak tak tahu diri. Anak ini tak punya rasa hormat kepada ayahnya. Masak
ayahnya berjalan sedangkan dia sendiri berada di atas keledai”.
Mendengar
komentar itu, sang anak pun turun dari punggung keledai. Sedangkan sang ayah,
Luqman, menaiki keledai tersebut. Tidak berapa lama kemudian ada orang lain
menyapa mereka. Dia merasa keheranan melihat mereka berdua lalu berujar, “Wah,
ayah macam apa ini. Masak dia asik-asik di atas keledai sementara anaknya yang
kecil disuruh berjalan. Apa dia tidak punya rasa kasihan terhadap anaknya”.
Mendengar
itu, Luqman meminta anaknya menaiki keledai itu bersama-sama. Mereka pun
berlalu dengan mengendaarai keledai bersama. Beberapa waktu kemudian, mereka
bertemu dengan seseorang dan dia pun berkata, “Ayah dan anak ini tidak tahu
diri. Apa mereka tidak merasa kasihan terhadap keledai ini. Keledai ini kecil,
tidak besar seperti kuda. Mana mungkin dia kuat mengangkut dua orang. Pasti
keledai ini merasa kecapen dan keletihan. Sungguh terlalu ayah dan anak ini”.
Luqman
dan anaknya pun turun. Mereka membiarkan keledai tersebut berjalan tanpa
ditunggangi. Mereka berdua memilih berjalan kaki. Tapi lagi-lagi ada yang
berkomentar, “Tidak saya temui orang yang lebih goblok daripada dua orang ini.
Masak membawa keledai tapi tidak ditunggangi. Ngapain mereka bawa keledai kalau
harus dituntun seperti itu?”
Luqman
pun mengatakan kepada anaknya bahwa hidup manusia di dunia ini memang seperti
itu. Apapun yang kita lakukan pasti ada saja yang tidak setuju dan berusaha
mengingkari apa yang kita lakukan. Karena berharap agar semua orang setuju
dengan yang kita lakukan adalah perkara mustahil. Tidak mungkin semua orang
menyepakati apa yang menjadi keputusan kita.
Jadi,
kita harus berani mengambil sebuah keputusan. Keputusan apapun yang kita ambil,
pasti saja ada yang tidak setuju. Ketika kita sudah memutuskan, hendaknya kita
komitmen terhadap keputusan tersebut dan tidak menoleh ke belakang.
Hikmah
lain dari cerita ini yaitu, tidak semua orang akan mencintai kita. Pasti saja
ada yang tidak senang dengan apa yang kita lakukan. Apapun tindakan yang Luqman
al-Hakim dan anaknya lakukan, selalu saja ada yang menentang dan membenci.
Sekarang
mari kita ambil contoh manusia terbaik di segala zaman, yaitu nabi Muhammad.
Walau beliau Saw adalah nabi paling unggul dari semua nabi, banyak yang tidak suka sama beliau. Bahkan
yang tidak hanya dari orang-orang jauh, melainkan dari keluarganya juga.
Jadi
jangan berharap semua orang akan mencintai kita. Pasti saja ada yang tidak
suka. Namun sikap terbaik kita adalah sebagaimana nabi Muhammad Saw. Beliau
tidak pernah membenci para pembenci beliau. Beliau justru mendoakan kebaikan
atas mereka. Maka wajar saja jika di kemudian hari mereka berubah sayang kepada
Rasulullah Saw.
Subhanallah.
Semoga kita mampu mengambil hikmah dari kisah Luqman al-Hakim dan anaknya di
atas. Semoga kita mampu melakukan sikap terbaik jika kita diminta memutuskan
suatu perkara. Dan, semoga kita bisa meniru Rasulullah Saw yang mencintai para
pembenci beliau. Amin.
Surabaya,
9 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar