Minggu, 11 Desember 2016

Solusi saat Jiwa Lapar

Pernahkah jiwa kita terasa sempit dan terdesak? Seolah-olah ada batu yang hendak jatuh dari atas. Permasalahan dunia pun terasa sangat besar dan agung sehingga terasa mustahil untuk bisa diselesaikan. Hati gelisah bukan main. Sama sekali tidak ada ketenangan. Bingung harus melakukan apa. Pikiran buntu.

Kalau merasakan hal itu, maka bisa dipastikan jiwa yang dimiliki sedang berada dalam kondisi lapar dan haus yang parah. Kalau hal ini terjadi pada diri kita, maka ada solusi ampuh yang bisa diterapkan. Apa itu?

Yaitu membaca al-Quran sebanyak-banyaknya. Semakin banyak ayat al-Quran yang dibaca maka semakin berkurang kegelisahan. Semakin lama membaca, maka akan semakin tenang jiwa kita. Batu di sudut hati yang sangat keras akan pecah dan mengeluarkan air segar yang kemudian menyirami jiwa.

Dan memang, al-Quran adalah obat bagi apa yang ada dalam dada (hati/jiwa). Syifaa-an fis sudhur, obat bagi apa yang ada dalam dada, firman Allah dalam kalam suci-Nya.

Itulah solusi yang diberikan Allah saat jiwa sedang lapar. Saat pikiran kalut dan hati gelisah tak menentu.

 Namun ironisnya, banyak dari kita yang mencari solusi lain yang ditawarkan oleh setan laknatullah dan hawa nafsu jahat. Bukan membaca al-Quran atau berdzikir, namun justru tenggelam dalam gelombang maksiat. Bukan mendekat ke masjid, justru lari menjauh sejauh-jauhnya. Akhirnya, jiwa semakin merana dan tidak karuan.

Kalau ini yang terjadi, maka sesungguhnya kita sedang terjatuh ke dalam jebakan setan laknatullah dan hawa nafsu jahat. Keduanya memang bersekongkol untuk mengelabui lalu menghajar kita. Dihiasnya amalan neraka seolah surga. Racun diberi merek madu. Bangkai dibungkus dengan kemasan yang menarik seolah daging segar. Akhirnya kita terlena untuk larut dalam maksiat. Hati pun membatu dan mengeras.

Maka saat sadar berada dalam kondisi ini, langkah yang harus ditempuh adalah berusaha sekuat tenaga untuk mebaca al-Quran. Berdzikir. Mendekat ke masjid. Awalnya mungkin berat. Tapi lama kelamaan, hati yang awalnya membatu akan semakin mencair dan akhirnya menghasilkan ketenangan dan kelapangan. Pikiran pun jernih. Optimisme kembali meningkat. Pandangan kembali terang. Kebahagiaan hakiki juga akan ikut muncul dan menyirami jiwa.

InsyaAllah, dengan bacaan al-Quran dan dzikir, jiwa yang sedang lapar akan menjadi kenyang. Semoga kita mampu mengamalkannya. Amiin.


Surabaya, 9 Desember 2016


Rabu, 07 Desember 2016

Membela al-Quran

Akhir-akhir ini di Indonesia sedang ramai dengan isu penistaan al-Quran yang dilakukan salah gubernur Jakarta yang non muslim. Maka menanggapi itu, umat muslim tumpah ruah turun ke jalan melakukan aksi damai untuk menuntut aparat agar memenjarakan sang penista. Aksi tersebut disebut sebagai aksi bela Islam atau bela al-Quran.

Aksi bela Al-Quran ini dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama, dilakukan pada bulan Oktober, lalu yang kedua dilakukan pada 4 November 2016 (411) dan yang ketiga dilakukan pada tanggal 2 Desember 2016  (212). Peserta aksi bela al-Quran yang pertama hanya ribuan, namun pada aksi kedua dan ketiga mencapai angka jutaan. Bahkan aksi ketiga ini dua atau tiga kali lipat dari yang kedua. Walaupun ada perdebatan terkait jumlah berapa orang yang ikut dalam aksi ini.

Nah, ada satu hal penting yang saya ingin tuliskan di sini terkait pembelaan terhadap al-Quran. Hal ini saya dapatkan ketika saya melakukan penyimpulan dari apa yang disampaikan para para da’i yang memberikan tausiyah pada aksi bela Islam yang ketiga (212) seperti Habib Riziq, Aa Gym, dan ustadz Arifin Ilham.

Peristiwa ini merupakan bentuk teguran Allah kepada umat Islam untuk membela al-Quran yang merupakan kalam-Nya. Dan, bentuk pembelaan terhadap al-Quran tidak hanya sekedar menuntut keadilan terhadap sang penista al-Quran. Namun, lebih jauh lagi, hendaknya menjadi bahan renungan dan intropeksi bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan al-Quran. 

Hendaknya, pembelaan al-Quran ini ditindaklanjuti dengan berusaha memperbanyak membaca al-Quran, mempelajari isinya, mentadabburinya, mengamalkannya, menghafalnya, dan mengajarkannya. Itulah bentuk pembelaan al-Quran yang hendaknya dilakukan oleh kaum muslimin.

Semoga kita bisa membela al-Quran dengan sebaik-baiknya. Amiin.



Surabaya, 7 Desember 2016

Selasa, 22 November 2016

Sumber Ilmu dalam Islam

Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya tentang sumber ilmu. Diskusi tersebut bermula dari seorang sahabat (sahabat pertama) yang menyampaikan bahwa sumber kebenaran (baca: ilmu) ada empat, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan wahyu. 

Lalu sahabat yang lain (sahabat kedua) menanggapi bahwa sumber kebenaran adalah al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.

Setelah ikut terlibat dalam diskusi tersebut, saya kemudian berusaha menelusuri pembahasan tersebut sembari bertanya kepada orang yang saya anggap mumpuni dalam bidang ini. Dari hasil penelusuran dan proses bertanya tersebut saya kemudian berusaha merangkumnya dalam coretan kecil ini.

Apa yang disampaikan oleh sahabat yang pertama penjelasannya ada dalam sebuah kitab yang ditulis seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanafi bernama Imam An-Nasafi (wafat tahun  berjudul ‘Aqaid” yang kemudian disyarah oleh muridnya dengan judul: “Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah”.

Imam  An-Nasafi, seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin keilmuan ini menuliskan,


وأسباب العلم للخلق ثلاثة: الحواس السليمة, و الخبر الصادق, والعقل"

"Sebab-sebab ilmu bagi makhluk ada 3, yaitu panca indera yang sehat, khabar shadiq (informasi yang benar), dan al-‘aql (akal)". (Lihat: Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 69-71).

Jadi untuk makhluk (baca: manusia) secara umum, sebab-sebab diperoleh ilmu ilmu ada 3, yaitu panca indera, khabar Shadiq (informasi yang benar), dan akal. Namun untuk orang-orang tertentu, Allah karuniakan saluran ilmu yang lain, yaitu ilham/intuisi (hal. 96-97), sehingga totalnya menjadi empat.

Landasan dari hal ini tertera dalam al-Quran. Dalam surat an-Nahl ayat 78, misalnya, Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Begitu juga dengan firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 179, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.
Berikut ini penjelasan mengenai empat sumber tersebut.
Pertama adalah panca indera. Panca indera yang dimaksud adalah persepsi indrawi yang berjumlah lima; yaitu mendengar, melihat, merasa, mencium (membau), dan menyentuh.
Kedua adalah khabar shadiq. Khabar shadiq bermakna informasi yang benar. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang berasal dari Allah, baik berupa kitab suci (al-Quran)  ataupun sunnah nabi.
Ketiga adalah akal. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan nalar dan alur pikir ini kita bisa menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat kesimpulan, dan lain-lain.
Keempat, yang terakhir, adalah ilham (intuisi/intuition). Ia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, seperti para nabi dan orang-orang shalih. Seperti misalnya nabi Ya’qub yang berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya” (QS. Yusuf: 96). Atau perkataan nabi Muhammad, “Tuhan saya telah mengilhamkan kepada saya” (Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 97).
Begitu juga Umar bin Khattab. Dia adalah orang shaleh yang Allah karuniakan Ilham. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan Nabi, jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umar lah orangnya ” (HR. Bukhari).

Baik, kita sudah membahas tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan khabar shadiq.

Lantas, bagaimana dengan jawaban sahabat saya yang kedua yang menyatakan bahwa sumber ilmu adalah al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas?

Kalau jawaban untuk sahabat yang pertama saya paparkan bahwa hal itu sudah dijelaskan oleh Imam Nasafi, maka untuk jawaban sahabat saya yang kedua ini diterangkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul “Ar-Risalah”.

Dalam kitab yang populer tersebut, Imam Syafi’i berkata, “

" ليس لأحد أبدا أن يقول فى شيئ حل ولا حرم إلا من جهة العلم, وجهة العلم الخبر فى القرآن أو السنة أو الإجماع أو القياس"
“Tak seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui informasi yang ada di al-Quran, sunnah, ijma’ atau qiyas” (Ar-Risalah, hal. 508)

Berikut penjelasan tentang keempat sumber ilmu tersebut.

Pertama adalah al-Quran. Al-Quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah swt.

Kedua adalah sunnah. Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.

Ketiga adalah ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.

Keempat adalah qiyas. Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nashز

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keempat sumber tersebut tidak terlepas dari al-Quran dan hadits. Maka tidak mengherankan jika Imam Syafi’i membuat pola hierarkis yang kedudukannya berurutan. Sumber yang pertama al-Quran, yang kedua hadits, yang ketiga ijma’, dan yang keempat qiyas. Urutannya harus begitu. Tidak boleh dibolak-balik.  

Dengan hierarkis seperti ini mempunyai implikasi bahwasanya segala jenis ilmu harus sesuai dengan standar al-Quran, dan tidak boleh bertentangan. Kalaupun ada ilmu yang kontradiktif dengan al-Quran, maka di sana ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ilmu itu salah, dan kemungkinan kedua, pemahaman dan penafsiran kita tentang al-Quran itu yang salah.

Baik, kita sudah mendapat penjelasan tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama dan juga menurut sahabat saya yang kedua. Sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama (panca indera, akal, khabar shadiq, intuisi) bisa ditelusuri dalam kitab Imam An-Nasafi, dan sumber ilmu menurut sahabat saya yang kedua (al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas) bisa ditelusuri dalam kitab Imam Syafi’i.

Lalu, mana yang benar? Pendapat sahabat saya yang pertama atau pendapat sahabat saya yang kedua?

Menurut hemat saya, keduanya sama-sama benar. Perbedaanya terletak pada dari sisi mana kita melihatnya. Keempat sumber ilmu menurut Imam Nasafi (panca indera, akal, khabar shadiq, dan intuisi) adalah sumber ilmu yang dilihat dari sisi epistemologis, yaitu alat/saluran/instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan keempat sumber ilmu menurut Imam Syafi’i (al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas) adalah sumber ilmu yang dilihat dari aspek sumber ilmu syariah, yaitu mashadirul ahkam (sumber hukum-hukum) dalam Islam yang senantiasa dijadikan sandaran. Wallahua’lam bis shawab.



Surabaya, 23 November 2016

Senin, 06 Juni 2016

Ramadhan dan Kesungguhan

Tahukah anda, kapan perang badar dilaksanakan. Ya, anda benar. Perang badar tepat dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Jadi kondisi lapar dan haus karena melaksanakan puasa bukanlah sebuah alasan untuk bersantai ria. Justru pada saat itulah perjuangan dan usaha yang bersungguh-sungguh dipraktekkan oleh generasi terbaik, Rasulullah dan para sahabat.

Sebagaimana diketahui, bahwa perang badar adalah perang penentu. Kalau menang, maka Islam akan jaya. Kalau kalah, Islam akan semakin diinjak-injak. Maka selain doa yang dipanjatkan dengan kesunngguhan luar biasa, pertempuran gigih nan perkasa ditunjukkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Hebatnya, hal itu mereka lakukan dalam kondisi perut kosong dan kerongkongan tercekat karena kehausan. Fisik boleh lemah, perut boleh lapar, namun jiwa dan ruhani mereka kuat dan iman mereka kenyang. Sehingga pertempuran sengit dan keras merka tunjukkan di hadapan Rabbul Izzati.

Jika demikian halnya yang dilakukan nabi dan para sahabat pada saat Ramadhan, maka ironis sekali jika seorang muslim mengisi Ramadhannya dengan tidur, bersantai ria, dan tak banyak melakukan aktivitas kebaikan. Kalau memang mengaku umat nabi Saw, tentunya kita akan mencontoh apa yang beliau lakukan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan aktivitas dengan bersungguh-sungguh dalam bulan Ramadhan.

Namun yang harus digaris bawahi, niatkan pekerjaan kita itu untuk Allah agar tidak sia-sia. Tujuannya benar, yaitu berusaha mencontoh Rasulullah dan para sahabat, bukan karena ingin dipuji dan dikatakan orang hebat dan sholeh. Bukan. Kalau itu yang terjadi, maka harus siap merelakan pahalanya terbakar tak tersisa.

Semoga di bulan mulia ini kita mampu melakukan upaya dengan kesungguhan yang besar sebagaimana nabi dan para sahabat. Semoga kita mampu melipatgandakan usaha dan kesungguhan kita, jauh melebihi porsi kesungguhan di luar Ramadhan. Amiin.



Surabaya, 6 Juni 2016

Senin, 23 Mei 2016

Dosa dan Istighfar

Dalam menjalani hidup ini, terutama di zaman sekarang, kita seolah dipaksa untuk berbuat dosa, terutama maksiat mata. Berada di dalam ataupun luar rumah, potensi berbuat dosa sama besar. Ketika berada di luar rumah, aurat terbuka di mana-mana. Baik perempuan maupun laki-laki banyak yang tidak menutup auratnya dengan sempurna.  

Ketika berada di dalam rumah potensi berbuat dosa juga tidak kecil, terutama bagi yang memiliki televisi ataupun alat elektronik semisal laptop dan handphone. Banyak sekali godaan untuk berbuat dosa. Seseorang yang awalnya tak punya niatan bermaksiat mata, akhirnya berlama-lama menikmati dosa.

Itu baru dosa maksiat mata, belum dosa-dosa lainnya yang juga mengintai. Maka tidak mengherankan kalau seorang muslim diarahkan untuk senantiasa mengulang-ulang doa memohan pengampunan (istighfar) setiap hari bahkan setiap waktu.

Saat melakukan shalat, misalnya, banyak bacaan yang berisi permohonan ampunan atas dosa yang dilakukan. Saat membaca doa iftitah terdapat bacaan  agar dijauhkan dari dosa sebagaimana jauhnya jarak antara barat dan timur, agar dosa "dibersihkan" sebagaimana baju kotor dibersihkan, dan agar dosa dicuci dengan air, es, dan embun.

Dalam rukuk dan sujud, setelah mengucap tasbih terdapat doa agar dosa-dosa diampuni oleh Allah. Pada posisi duduk di antara 2 sujud pun begitu, terdapat 3 kata yang semuanya memiliki makna agar Allah mengampuni dosa yang dimiliki; yaitu "Robbighfirlii" (Ya Tuhanku, ampunilah dosaku), "wa'aafini" (maafkan aku), dan "wa'fu 'anni" (maafkanlah kesalahanku).

Doa-doa berisi permohonan ampunan tersebut wajib dibaca berulang-ulang setiap shalat. Kalau dihitung secara matematis maka setiap harinya kita diperintahkan meminta ampun paling sedikit sebanyak 51 kali, dengan rincian 3 kali setiap rakaat dan dalam sehari terdapat 17 rakaat.  Itu kalau hanya mengerjakan shalat wajib 5 waktu. Kalau ditambah shalat sunnah maka jumlahnya lebih banyak lagi.

Namun tidak cukup di situ, nabi Muhammad Saw mengajarkan agar beristighfar sebanyak-banyaknya. Beliau sendiri yang maksum, beristighfar paling sediikit 100 kali dalam sehari  (HR. Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang tidak mungkin terlepas dari jeratan dosa. Selalu saja ada dosa yang dilakukan, sehingga harus selalu minta ampun.

Namun anehnya, banyak dari kita yang tidak bersungguh-sungguh dalam meminta ampun. Setiap bacaan istighfar yang ada dalam shalat maupun di luar shalat dilewati begitu saja tanpa penghayatan yang mendalam. Mungkin lisan mengucapkan "astaghfirullahal 'adziim" (saya meminta ampun kepada Engkau wahai Allah Yang Maha Agung), tapi hati dan pikiran mengembara kemana-mana.

Kalau nabi beristighfar paling sedikit 100 kali dalam sehari, banyak di antara kita yang melalui hari-harinya tanpa istighfar 1 kali pun.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain karena hati yang dimiliki dalam kondisi sakit. Sakitnya pun bermacam-macam; ada yang sakit biasa dan ada juga yang parah mendekati kematian. Sensor dosanya lemah sehingga dosa dianggap hal biasa. Dosa hanya dianggap lalat yang hinggap di hidung, sehingga tak perlu dihiraukan. Atau, dosa justru dianggap makanan yang harus dimakan setiap hari. Na'udzubillahi min dzaalik.

Padahal, dosa memiliki dampak negatif yang banyak. Di antara dampak tersebut adalah, dosa bisa mengakibatkan pelakunya menjadi orang yang lemah akalnya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Aku pernah mengadu kepada Imam Waki’ akan buruknya hapalanku, maka beliau membimbingku agar meninggalkan maksiat, dan beliau mengatakan kepadaku bahwa ilmu agama itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dianugerahkan kepada orang yang suka bermaksiat.” (Thabaqot Al-Hanafiyyah, 1/487)

Imam Waki' juga pernah berkata kepada kepada Imam Ali bin Hasyram , “Tinggalkanlah maksiat. Demi Allah, aku tidak menemukan cara yang paling tepat untuk bisa menghapal, daripada meninggalkan maksiat.” (Siyar A’laamin Nubala’, 6/384)

Masih banyak dampak lain dari dosa selain lemah akal. Ibnul Qayyim dalam kitab ad-Da'u wad Dawa' memamaparkan dampak-dampak lainnya, seperti; terhalang dari rezeki dan urusannya dipersulit, hati terasa jauh dari Allah  SWT dan merasa asing,  hati menjadi gelap sebagaimana gelapnya malam, terhalang dari mendapatkan doa para malaikat, dan lain-lain.

Semoga kita selamat dari perbuatan meremehkan dosa, memperbanyak permohonan ampun kepada Allah, dan menghayati istighfar tersebut dengan penghayatan yang mendalam. Amiin.



 Surabaya-Tasikmalaya, 19 Mei 2016

Senin, 16 Mei 2016

Memaafkan

Saya tidak akan pernah memaafkan mereka. Mereka sudah membuat hidup saya sengsara”, kata teman saya saat dia bercerita tentang kisah hidupnya. Dari apa yang disampaikan, menunjukkan bahwa teman saya ini tidak bisa memaafkan orang yang sudah menyakiti hatinya. Memang, memaafkan bukanlah perkara mudah. Terlebih jika perlakuan yang didapatkan sangat menyakitkan hati dan tidak bisa dilupakan. 

Namun, bagaimana sikap yang benar bagi seorang muslim jika ada orang lain yang menyakiti hatinya? Memaafkan atau tidak memaafkan?

Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa ada seorang sahabat nabi yang disebut-sebut oleh Rasulullah Saw sebagai ahli surga. Karena penasaran dengan penjelasan Rasulullah Saw tersebut, Abdullah bin Amr kemudian berusaha menyelidiki amalan apa yang dilakukan si fulan sehingga dia disebut nabi sebagai ahli surga. 

Abdullah kemudian pergi menginap di rumah si fulan tersebut. Namun ia merasa keheranan, karena ibadah si fulan tidak ada yang istimewa. Lantas ia menceritakan kabar dari nabi dan bertanya kepadanya, amalan apa yang dia lakukan sehingga nabi menyebutnya sebagai ahli surga.

Si fulan pun menjawab, bahwa sebelum tidur dia selalu berdoa agar Allah mengampuni orang-orang yang telah membuat hatinya sakit. Dengan begitu, tidak ada rasa amarah dan dendam dalam hatinya. Dia maafkan semua perlakuan orang yang telah menjadi penyebab hatinya sakit tanpa terkecuali.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang muslim hendaknya memaafkan orang yang telah menjadikan hati sakit. Tidak cukup memaafkan, tapi hendaknya ditambah dengan berdoa agar Allah mengampuni dosa-dosanya.

Dalam al-Quran surat Al-A’raf ayat 199 diterangkan bahwa kita hendaknya menjadi pemaaf. Allah berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
 
Di samping itu, Allah juga menerangkan bahwa sifat memaafkan adalah ciri orang yang bertakwa. Dia berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133-134).

Jadi ada tiga ciri orang bertakwa berdasarkan ayat di atas; yaitu orang yang bersedekah di segala kondisi, orang yang menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain. Ketiga ciri tersebut harus ada semuanya, karena bisa saja ada yang mampu bersedekah di segala kondisi dan mampu menahan amarah namun tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain.

Memaafkan kesalahan orang lain berada di atas tingkat orang yang mampu menahan amarah. Karena orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam. Maka dari itulah, seorang muslim yang baik tidak hanya mampu menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika marah. Kalau mampu melakukannya, ia akan dipuji oleh Allah dan diangkat derajatnya. Allah berfirman: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma`af” (QS. AS-Syuuro: 37)

Dari firman Allah di atas menjadi teranglah perkara ini. Sikap yang benar bagi seorang muslim adalah memaafkan orang yang sudah menyebabkan hatinya sakit. Namun masih ada satu alasan lagi mengapa sikap memaafkan perlu kita lakukan. Dengan memaafkan, kita telah berhasil mendamaikan dan menenangkan hati. Karena kita punya hak untuk menjadikan hati kita tenang dan damai serta terbebas dari rasa dendam.

Tere Liye, salah satu penulis novel muslim pernah menulis dalam salah satu novelnya, “Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian dalam hati”.

Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang gampang memaafkan. Karena dengan memaafkan kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah, memperoleh predikat takwa, serta mendapatkan kedamaian dalam hati. Semoga.


Surabaya, 16 Mei 2016

Laki-laki dan Perempuan

Pada fase postmodernisme, salah satu paham yang gencar disosialisasikan adalah feminisme, yaitu paham yang ingin mewujudkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. 

Paham ini muncul karena perempuan di Barat pada masa dahulu benar-benar tertindas. Perempuan dianggap manusia kelas kedua, bahkan ada yang meragukan apakah perempuan adalah manusia. 

Tragisnya, pandangan yang merendahkan perempuan justru dilegitimasi oleh agama yang ada di Barat, yaitu Kristen. Dalam kitab mereka, bibel, terdapat banyak keterangan yang menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk yang bersalah dan layak untuk ditindas dan berada di bawah laki-laki. Misalnya, perempuanlah yang menjadi penyebab manusia diusir ke bumi, tidak tinggal di surga. Perempuanlah penyebab dosa dan karenanya mereka dikutuk dengan memiliki beban yang sangat berat, seperti melahirkan menyusui, dan lain-lain.

Yah, begitulah nasib perempuan di Barat pada masa lalu. Kemudian datang masa renaissance, di mana penentangan terhadap gereja terhadi secara massif dan banyak orang yang menyatakan bahwa mereka memiliki kebebasan sebebas-bebasnya dalam berpikir. Kaum perempuan di sana pun tidak tinggal diam. Mereka ikut keluar dan berani menyuarakan bahwa perempuan tidak boleh lagi ditindas. Harus ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

 Namun, mereka melampaui batas. Gerakan yang bermula dari kebencian ini kemudian berlebih-lebihan. Dari yang semula ingin agar perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, banyak yang kemudian menyatakan bahwa mereka lebih baik dari laki-laki. Di antara mereka juga ada yang menyatakan bahwa kesetaraan tidak hanya pada sisi sosial, tapi dalam hubngan seksual juga. Kenikmatan seksual menurut mereka tidak hanya didapatkan dari laki-laki, tapi juga bisa dari perempuan. Sehingga lahirlah apa yang disebut dengan lesbianisme, penyuka sesama perempuan. 

Parahnya, paham yang lahir di Barat ini kemudian diekspor ke negara Islam. Padahal, perempuan-perempuan muslim tidak memiliki masalah seperti di Barat. Berbeda dengan perempuan di Barat yang dihina dan ditindas, perempuan dalam Islam justru dimuliakan. Kalau agama di Barat “membolehkan” penindasan terhadap perempuan, maka agama Islam justru mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Jadi, sebenarnya paham ini tidak berlaku untuk perempuan-perempuan muslim. Apalagi,  latar belakang munculnya paham ini adalah karena kebencian terhadap laki-laki.

Lantas, bagaimana dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam? Jawaban dan perumpumaan yang disampaiakan oleh Dr. Zakir Naik dalam salah satu ceramahnya sangat bagus. Dalam penjelasannya, ia menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Ia pun menyebut landasannya dari al-Quran. Dalam banyak hal laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Namun dalam beberapa hal laki-laki lebih unggul dari perempuan, dan dalam hal lainnya perempuan yang lebih unggul. Sehingga, mereka tetap memiliki kedudukan yang sama.

Dia menganalogikan dengan dua murid yang memiliki nilai yang sama besar. Namun dalam beberapa hal, sebenarnya mereka sama-sama memiliki keunggulan atas yang lain. Hanya saja nilai keduanya tetap sama. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa murid yang pertama lebih unggul dibandingkan dengan murid yang kedua.

Begini, ada 10 soal. Pada soal pertama, murid pertama (A) dapat 8 poin dari 10 sedangkan murid kedua (B) dapat poin 10. Jadi pada soal pertama, murid B lebih unggul. Adapun soal yang kedua, murid A dapat poin 10 dari 10 dan murid yang kedua pat poin 8. Nah, pada soal yang kedua ini murid A lah yang lebih unggul. Bagaimana dengan soal nomor 3 sampai 10? Jawaban mereka sama-sama bernilai 10 poin dari masing-masing soal.Ketika ditotal, keduanya memiliki nilai yang sama. Murid A dapat nilai 98, begitu juga dengan murid B. Tidak ada yang lebih unggul di antara keduanya. Namun untuk soal pertama murid B lebih unggul dan pada soal yang kedua murid A lah yang lebih unggul.

Begitu juga dengan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Laki-laki, misalnya, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Alasannya adalah karena laki-laki secara fisik lebih kuat dari perempuan. Hal itu diterangkan dalam al-Quran. Namun, dalam sebuah hadits diterangkan bahwa perempuan (ibu) lebih dimuliakan 3 kali lipat dari laki-laki (ayah). Jadi, laki-laki dan perempuan sama-sama lebih unggul dalam beberapa hal. Adapun dalam banyak hal keduanya sama, tidak ada yang lebih unggul.

Sehingga kesimpulannya adalah, laki-laki dan perempuan dalam Islam memiliki kedudukan yang sama. Keduanya juga sama-sama lebih unggul dalam hal-hal tertentu. Wallahua’lam bisshowab.


Surabaya, 14 Mei 2016

Bersungguh-sungguh

Di antara kunci kesuksesan adalah kesungguhan. Dengan sungguh-sungguh, seseorang akan berhasil meraih impian yang dia idam-idamkan. Namun tidak mudah untuk bisa sungguh-sungguh. Masih banyak orang yang sudah merasa melakukan usaha dengan sungguh-sungguh, namun dia tidak memiliki karya yang bisa dibanggakan di hadapan penciptanya. Dia hanya merasa dan merasa. Merasa sudah bersungguh-sungguh. Padahal sebenarnya apa yang dia lakukan belumlah sungguh-sungguh. 

Ada seseorang yang sudah merasa sungguh-sungguh, padahal di saat yang sama temannya melakukan usaha yang jauh lebih ekstra dari apa yang dia lakukan. Ada juga yang merasa dia sudah banyak menghabiskan waktunya hanya untuk melakukan apa yang dia harus lakukan. Padahal pada waktu yang sama, ternyata temannya hanya tidur 3 atau 4 jam sehari karena melakukan apa yang harus dia lakukan. Artinya, dia sebenarnya belumlah dikatakan bersungguh-sungguh. Dia hanya melakukan sekedarnya saja. Belum bersungguh-sungguh dalam arti sebenarnya.

Bagaimana dengan kita?


Surabaya, 8 Mei 2016

Umur

Kalau mau tahu seperti apa kualitas kita, maka lihatlah umur kita. Misalnya umur kita 20-an tahun. Pada umur tersebut, coba kita nilai diri kita secara jujur. Lalu kita bandingkan dengan prestasi yang orang lain capai pada umur 20. Kalau kita jauh dibandingkan dia, berarti kualitas hidup kita memang teramat rendah. Maka kita harus meng-upgrade diri kita. 

Berbicara tentang umur, ada seorang pembicara yang membagi umur dengan lima ibu jari. Jari kelingking, katanya, mewakili umur 1-10 tahun. Kecil, anak-anak dan berpikirnya pendek.

 Jari manis mewakili umur 11-20 tahun. Masa ini ini adalah masa remaja yang penuh dengan hal-hal “manis”. Masa yang bergejolak. 

Jari tengah mewakili umur 21-30 tahun. Masa menuju kematangan diri. Semangat meledak-ledak. Karya-karya hidup banyak diperoleh pada masa-masa ini. Makanya jari tengah itu paling panjang dibandingkan dengan jari yang lain. Namun pada masa ini rawan terjangkit kesombongan karena merasa lebih wah dari yang lain. 

Jari telunjuk mewakili umur 31-40 tahun. Masa-masa ini adalah masa-masa usia sudah matang. Lebih bijaksana dalam menghadapi hidup, makanya lebih pendek dari jari tengah. Biasanya memiliki karisma yang lebih tinggi dari jari tengah (yang berumur 21-30), makanya apa yang dia sampaikan lebih didengarkan. Kalau menyuruh lebih ditaati. 

Jari jempol mewakili umur 41-60. Masa-masa di mana intelektual, emosional dan spriual sangat matang. Biasanya menjadi pembina dan penasehat.

Hm...berada di posisi mana kita? Yang jelas, kita harus memanfaatkan jatah umur yang Allah berikan kepada kita. Jangan sampai kita menyia-nyiakannya.



Surabaya, 6 Mei 2016

Minggu, 15 Mei 2016

Laba

Hidup adalah berdagang dan berbisnis dengan Allah. Kita membeli surga Allah dan kita membayarnya dengan 3 hal; yaitu iman, amal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

 Jikalau kita ingin memperoleh laba yang banyak maka kita harus menggunakan waktu-waktu kita untuk selalu dalam 3 hal tersebut. Kita pastikan segala tindak tinduk kita adalah dalam rangka meningkatkan atau menjaga iman, dalam kegiatan kebaikan yang bernilai ibadah, dan juga ada nuansa saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.

Di antara contoh yang bisa dilakukan misalnya melaksanakan sholat. Maka dengan melakukan sholat ini, kita melakukan kegiatan keimanan dan juga amal sholeh. Ia juga bisa bermakna menasehati orang lain jika memang diniatkan untuk berdakwah, karena berdakwah bisa juga dengan contoh.

Contoh lainnya adalah menulis kata-kata positif dalam media sosial. Kita sebarkan energi positif kepada orang-orang. Maka kita melaksankan poin ketiga, yaitu saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Itu juga bisa bermakna amal shaleh karena itu adalah perbuatan yang insyaAllah diridhai Allah dan tidak bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw.

Begitu juga dengan contoh-contoh lainnya. Intinya, perbuatan yang dimaksud harus mengarah kepada 3 hal tersebut. Perbuatan itu harus dalam rangka keimanan, berdimensi ibadah, dan juga memiliki nilai dakwah.
Dengan cara ini, kita akan memperoleh laba yang banyak. Dengan cara ini kita akan terhindar dari kerugian dalam hidup, apalagi kebangkrutan. Tidak akan. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu berusaha berada dalam 3 kondisi di atas agar menjadi orang yang beruntung. Amiin.


Surabaya, 19 Januari 2016





Mendirikan Shalat

Bagaimana kabar kesehatan fisik? Bagaimana juga kabar kesehatan ruhani? Kalau shalatnya gimana kondisinya?

Banyak di antara kita yang memperhatikan kondisi fisiknya, kesehatan badannya, dan kekuatan tubuhnya, namun lupa terhadap kondisi ruhaninya. Bisa jadi ruhaninya lapar tapi dia tidak memberinya makan. Bisa jadi ruhiyahnya sedang sakit, namun dibiarkan merana tak diobati.

Begitu juga dengan shalat, sedikit yang peduli terhadap “kesehatan” shalatnya. Padahal shalatnya sudah sekarat. Shalatnya sama sekali tak berkualitas. Kelihatan sekali kalau hanya menggugurkan kewajiban. Shalatnya terasa kering, gersang, dan kerontang. Ia bagaikan jasad tanpa nyawa.

Kita hendaknya menjaga kesehatan jasmani kita, pun ruhani kita. Dan agar ruhani bisa sehat, maka shalatnya pun harus sehat. Harusnya shalat diperhatikan kondisinya. Karena kalau shalat seseorang baik, maka seluruh tindak tanduknya akan baik. Namun kalau shalatnya jelek, maka tindak tanduknya akan jelek.

Shalat yang sehat adalah shalat yang didirikan, bukan hanya dikerjakan. Mendirikan shalat berbeda dengan mengerjakan shalat. Apa perbedaannya?

As-Sa’di dalam kitab tafsirnya ketika menerangkan kata “Wa aqiimu as-shalaah” pada surat al-Baqarah ayat 2, menuliskan bahwa mendirikan shalat itu memiliki usaha yang lebih dari sekedar mengerjakan shalat. Mendirikan shalat ada dua macam, yaitu mendirikan secara dzahir dan mendirikan secara batin.

Mendirikan secara dzahir, lanjut As-Sa’di, ialah dengan menyempurnakan rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan syarat-syarat shalat. Adapun mendirikan secara batin dilakukan dengan mendirikan ruh shalat. Apa itu ruh shalat? Ruh shalat adalah hadirnya hati saat shalat serta mentadabburi apa yang dibaca dan apa yang dikerjakan ketika shalat.

Jadi kalau melaksanakn shalat adalah shalat secara fisik, yaitu dengan melakukan rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan syarat-syarat shalat. Adapun mendirikan shalat lebih luas dan lebih dalam, yaitu dengan ikut menghadirkan hati ketika shalat, mentadabburi segala apa yang dibaca dan dilakukan saat shalat.

Maka dari itu, agar bisa menghadirkan hati ketika shalat dan mentadabburi bacaan shalat hendaknya kita mengetahui maksud dari apa yang kita baca. Kalaupun kita punya kelemahan dalam bahasa arab, minimal kita paham maksud beberapa kosa kata yang ada dalam bacaan shalat. Dengan cara ini, kita mendapat kemudahan untuk bisa mendirikan shalat.

Nah, kalau kualitas shalat kita sudah pada tingkat “didirikan”, bukan sekedar dikerjakan maka shalat itu akan memberi pengaruh yang keren pada diri kita. Kita akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Dalam menghadapi hidup, kita akan tegar menjalaninya. Dan, seluruh amalan kita dapat jaminan bahwa ia akan menjadi amal shaleh, amal yang baik. Tapi syaratnya adalah mendirikan shalat, bukan sekedar mengerjakan shalat.

Semoga kita bisa mendirikan shalat. Amiin.



Surabaya, 27 Januari 2016







Hikmah


Hidup manusia di dunia penuh lika-liku dan dinamika. Banyak kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya. Banyak hal negatif yang menghinggapi diri padahal hati menolaknya. Banyak hal positif yang ingin dikerjakan tapi tak dilaksanakan. Banyak impian yang hendak diraih tapi tidak kunjung terlaksana.

Begitulah hidup. Hidup memang tidak lurus-lurus saja. Selalu saja ada jalan menanjak. Selalu saja ada jalan yang berkelok. Banyak paku-paku kehidupan yang siap menggulingkan kita. Ya, begitulah hidup.

Maka kita yang hidup di dunia ini harus pandai-pandai mengambil hikmah. Setiap kejadian pasti saja ada hikmah yang tersembunyi.  Selalu saja ada hikmah dibalik setiap peristiwa. Sungguh rugi jikalau kita melalui hidup ini dengan membuang hikmah-hikmah yang berceceran tersebut. Coba sekali saja kita ambil hikmah tersebut, lalu kita praktekkan dalam kehipan nyata. Maka hal positif dan perubahan besar akan terjadi pada diri kita.



Surabaya, 19 Januari 2016




Tak Mungkin Semua Orang Menyukai Kita

Pernahkah dengar cerita tentang seorang hamba sholeh bernama Luqman al-Hakim beserta anaknya yang mengendarai keledai? Di sini saya ingin menuliskan tentang hal itu agar bisa menjadi ibrah bagi kita semua dalam meniti jembatan kehidupan ini.

Luqman al-Hakim suatu ketika pergi bersama anaknya pergi menuju pasar. Luqman memutuskan anaknya saja yang naik keledai itu, sedangkan ia sendiri berjalan sambil memegangi tali kekang keledai.

Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seseorang. Orang tersebut berkomentar, “Anak tak tahu diri. Anak ini tak punya rasa hormat kepada ayahnya. Masak ayahnya berjalan sedangkan dia sendiri berada di atas keledai”.

Mendengar komentar itu, sang anak pun turun dari punggung keledai. Sedangkan sang ayah, Luqman, menaiki keledai tersebut. Tidak berapa lama kemudian ada orang lain menyapa mereka. Dia merasa keheranan melihat mereka berdua lalu berujar, “Wah, ayah macam apa ini. Masak dia asik-asik di atas keledai sementara anaknya yang kecil disuruh berjalan. Apa dia tidak punya rasa kasihan terhadap anaknya”.

Mendengar itu, Luqman meminta anaknya menaiki keledai itu bersama-sama. Mereka pun berlalu dengan mengendaarai keledai bersama. Beberapa waktu kemudian, mereka bertemu dengan seseorang dan dia pun berkata, “Ayah dan anak ini tidak tahu diri. Apa mereka tidak merasa kasihan terhadap keledai ini. Keledai ini kecil, tidak besar seperti kuda. Mana mungkin dia kuat mengangkut dua orang. Pasti keledai ini merasa kecapen dan keletihan. Sungguh terlalu ayah dan anak ini”.

Luqman dan anaknya pun turun. Mereka membiarkan keledai tersebut berjalan tanpa ditunggangi. Mereka berdua memilih berjalan kaki. Tapi lagi-lagi ada yang berkomentar, “Tidak saya temui orang yang lebih goblok daripada dua orang ini. Masak membawa keledai tapi tidak ditunggangi. Ngapain mereka bawa keledai kalau harus dituntun seperti itu?”

Luqman pun mengatakan kepada anaknya bahwa hidup manusia di dunia ini memang seperti itu. Apapun yang kita lakukan pasti ada saja yang tidak setuju dan berusaha mengingkari apa yang kita lakukan. Karena berharap agar semua orang setuju dengan yang kita lakukan adalah perkara mustahil. Tidak mungkin semua orang menyepakati apa yang menjadi keputusan kita.

Jadi, kita harus berani mengambil sebuah keputusan. Keputusan apapun yang kita ambil, pasti saja ada yang tidak setuju. Ketika kita sudah memutuskan, hendaknya kita komitmen terhadap keputusan tersebut dan tidak menoleh ke belakang.

Hikmah lain dari cerita ini yaitu, tidak semua orang akan mencintai kita. Pasti saja ada yang tidak senang dengan apa yang kita lakukan. Apapun tindakan yang Luqman al-Hakim dan anaknya lakukan, selalu saja ada yang menentang dan membenci.

Sekarang mari kita ambil contoh manusia terbaik di segala zaman, yaitu nabi Muhammad. Walau beliau Saw adalah nabi paling unggul dari semua nabi,  banyak yang tidak suka sama beliau. Bahkan yang tidak hanya dari orang-orang jauh, melainkan dari keluarganya juga.

Jadi jangan berharap semua orang akan mencintai kita. Pasti saja ada yang tidak suka. Namun sikap terbaik kita adalah sebagaimana nabi Muhammad Saw. Beliau tidak pernah membenci para pembenci beliau. Beliau justru mendoakan kebaikan atas mereka. Maka wajar saja jika di kemudian hari mereka berubah sayang kepada Rasulullah Saw.

Subhanallah. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari kisah Luqman al-Hakim dan anaknya di atas. Semoga kita mampu melakukan sikap terbaik jika kita diminta memutuskan suatu perkara. Dan, semoga kita bisa meniru Rasulullah Saw yang mencintai para pembenci beliau. Amin.


Surabaya, 9 Januari 2016



Sabtu, 16 Januari 2016

Capek Psikologis

Apa sih yang dimaksud dengan capek psikologis? Mungkin kata-kata itu yang terbenak dalam pikiran kita ketika membaca judul di atas. Istilah ini memang unik dan kayaknya tidak akan ditemukan di kamus lengkap bahasa Indonesia sekalipun. Saya pun baru mengetahui istilah ini dari salah satu inspirator hidup saya.

Istilah ini muncul ketika saya konsultasi dengan “sang inspirator” tersebut. Setelah saya menyampaikan unek-unek yang ada di hati, beliau pun menyampaikan bahwa sebenarnya capek psikologis itu perlu diwaspadai, karena bisa jadi itu yang sering menyerang kita. Kalau capek fisik gampang solusinya, yaitu dengan tidur misalnya. Tapi kalau capek psikologis, ini yang susah. 

Capek psikologis menurut beliau terjadi ketika kita tidak enjoy terhadap pekerjaan kita. Kita tidak menikmati apa yang kita lakukan. Hal itu akan menyebabkan motivasi yang ada dalam dada berkurang dan akhirnya lenyap diterbangkan angin kemalasan.

Di antara penyebab capek psikologis ialah kita terpaksa melakukan sebuah pekerjaan. Kita tidak melakukan dengan tulus. Kita tidak mengharapkan ridha Allah, tapi ridha manusia. Padahal kalau terlalu berharap kepada manusia kekecewaanlah yang akan muncul. Sehingga dari ketidaknyamanan itulah yang akan membuat psikologis dan pikiran kita capeh, letih, dan lunglai tak berdaya.

Jadi sudah ada titik terang sekarang. Cara agar tidak capek psikologis ialah, kita berusaha menyenangi aktivitas  yang menjadi amanah dan kewajiban kita. Mudah-mudahan kita termasuk yang terselamatkan dari capek psikologis. Semoga, ;)



Surabaya, 12 Januari 2016





Senin, 11 Januari 2016

Merasa Diawasi Allah


Pernahkan kita sendirian? Hanya ada diri kita, tak ada orang lain. Hanya hidung kita yang nampak. Tak ada manusia lain.

Ketahuilah, bahwa jika kita merasa sendirian, berarti iman kita masih cukup bermasalah. Tauhid kita masih termasuk tauhid yang kropos, belum kuat.

Mengapa bisa demikian? Karena iman yang sehat itu membuat kita tidak pernah sendirian. Kita merasa bahwa selalu saja ada yang mengawasi kita, yaitu zat Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui.

Orang yang merasa diawasi oleh Allah akan selalu merasa tenang hidupnya. Dia tak memiliki rasa khawatir karena dia yakin bahwa dia selalu berada dalam naungan dan perlindungan-Nya. Dia juga tidak mau melakukan dosa. Karena dia yakin bahwa Allah pasti melihat perbuatan bejatnya.

Sungguh beruntung orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah. Sungguh bahagia hidup orang-orang yang selalu merasa dilihat dan didengar oleh-Nya.  Semoga kita mampu menjadi bagian dari orang-orang tersebut. Amiin.


Surabaya, 11 Januari 2016