Rabu, 30 Desember 2015

Kecilnya urusan Dunia



Ada sebuah nasehat indah dari teman saya beberapa waktu yang lalu. Saya ingin mengabadikan nasehat itu di sini agar orang lain bisa membacanya. Atau paling tidak, saya bisa membacanya kembali di waktu yang lain sehingga saya kembali tersadarkan.
 
Hal itu bermula ketika saya menyampaikan kepadanya bahwa saya masih mau fokus pada pengerjaan tesis. Jadi saya mau fokus dan memikirkan khusus untuk tesis ini, makanya saya tidak ingin diganggu oleh hal-hal lain. Kemudian dia menasehati saya bahwa perkara dunia itu tidak usah terlalu dipirkan secara mendalam. Perkara dunia itu hanya terjadi di dunia dan akan selesai di dunia. Pengerjaan tesis itu adalah perkara dunia. Ia adalah urusan kecil, tidak perlu dibesar-besarkan. 

Saya pun sadar, bahwa selama ini saya salah dalam bersikap. Apalagi sehari sebelumnya teman saya ini mengatakan kepada saya bahwa kalau kita merasa berat dan gelisah terhadap urusan dunia, maka spritualitas kita sedang bermasalah. Saya sadar bahwa spritualitas saya sedang bermasalah. Saya lebih banyak memikirkan dunia daripada akhirat. Saya lupa bahwa akhirat adalah kehidupan sebenarnya. Saya lupa bahwa urusan dunia hanyalah sementara dan merupakan ladang untuk akhirat.

Dari situlah kemudian saya membuat sebuah kesimpulan bahwa kita hendaknya menganggap kecil yang seharusnya memang kecil, dan menganggap besar perkara yang memang besar. Yang perlu dianggap kecil karena dia memang kecil adalah urusan dunia. Urusan dunia adalah perkara kecil, tidak perlu dibesar-besarkan. Sedangkan urusan akhirat adalah besar sehingga kita hendaknya takut untuk masuk neraka di akhirat sana. Kita sangat berharap untuk masuk surga. Caranya ialah berusaha mendekat kepada-Nya, banyak beristighfar, minta ampun atas segala kelalaian yang sudah dibuat. Karena Dia Maha Tahu apa yang kita kerjakan walau kita dengan sekuat tenaga berusaha menyembunyikan.

Akhirnya, semoga kita bisa bersikap adil. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perkara dunia yang merupakan kecil dan remeh temeh tidak perlu dipikirkan secara mendalam. Sedangkan perkara akhirat betul-betul diupayakan dengan sungguh-sungguh. Tapi biasanya, orang yang lebih mengutamakan akhiratnya akan sangat peduli dengan dunianya. Kenapa? Karena dunia adalah ladang bagi akhirat. Tak ada akhirat tanpa ada dunia. Masuk surga atau neraka tergantung tindak-tanduk kita di dunia.

Wallahua’lam bis showab.


Surabaya, 31 desember 2015

Badiuzzaman Said Nursi


Saudaraku,  saya ingin menuliskan sekelumit mengenai apa yang pernah saya baca. Beberapa waktu lalu saya membaca novel karya Kang Abik berjudul “API Tauhid”. Di sana saya mendapati sosok ulama luar bisa, Badiuzzaman Said Nursi. Ketika membaca novel itu, keinginan saya untuk meniru ulama hebat ini begitu kuat, walaupun dalam beberapa aspek tampaknya tidak memungkinkan.

Sa’id Nursi memiliki kemiripan dengan Imam Syafi’i dalam beberapa hal. Misalnya, memiliki kecerdasan luar biasa. Sebagaimana Imam Syafi’i, Said Nursi mampu menghafal tulisan satu halaman atau lebih dalam sekali baca. Pernah dia membaca 10 atau 11 halaman dalam sekali, lalu dibacakan lagi tanpa melihat buku tersebut. Hebatnya, tidak ada yang keliru. Dalam usia muda (kalau nggak salah umur 15 tahun), dia sudah mendapat penghormatan sebagaimana Imam Syafi’i, yaitu mengajar orang-orang yang banyak lebih tua darinya. Dipercaya untuk mengajar mereka karena keilmuannya. 

Ayahnya juga memiliki kisah mirip dengan ayah Imam Syafi’i, yaitu berupaya mencari “penghalalan” akan sesuatu yang syubhat kepada ayah mertuanya sebelum mendapat istri. Bedanya, ayah Imam syafi’i yang makan buah dari pohon si mertua, kalau ayah Said Nursi kambingnya yang makan rerumputan di kebun milik mertuanya. Yang wah juga, ibu Said Nursi selalu menyusuinya dalam kondisi suci. Jika dia batal wudhunya, maka segera wudhu dan melanjutkan aktivitas menyusui Said Nursi kecil.

Namun yang lebih aku kagumi adalah tentang perjuangannya sebagai ulama dan keberaniannya. Dia adalah ulama sesungguhnya. Dia adalah ulama pejuang. Dia hidup di era keruntuhan Khilafah Islam. Saat-saat di mana khalifah digulingkan dengan hina pada 1924. Dia juga menghadapi masa sekularisasi terhebat sepanjang sejarah. Adzan tidak boleh pakai bahasa Arab, tidak boleh ada pengajaran al-Quran, perempuan tidak boleh berjilbab, dll. Dia melawan sekularisasi tersbut dengan keilmuannya.  Berulang kali dia dipenjara selama 25 tahun. 

Namun hebatnya, di penjara dia mampu menuliskan kitab Risalah An-Nur yang dia tulis secara bertahap. Ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya. Sering dia menulis di secarik kertas, lalu dilempar keluar melalui jendela penjara agar tidak diketahui petugas penjara. Di luar penjara muridnya  sudah menunggu. Muridnya ini pun menulis ulang dan disebarkan kepada murid-murid Said Nursi yang lain.

 Dari penulisan secara bertahap itulah lahir kitabnya Risalah An-Nur yang berisi petuah-petuah berdasarkan al-Quran. Dan dari kitab inilah kemudian ada komunitas bernama Thullabun Nur, para pelajar yang belajar kitab Risalah An-Nur yang sampai sekarang masih eksis, baik di Turki maupun di negara lain. 

Hebat. Memang ulama sesungguhnya. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari sosok ulama mulia ini.


Surabaya, 30 Desember 2015

Sabtu, 29 Agustus 2015

Manfaat Memberi Manfaat kepada Orang Lain

Alhamdulillah saudaraku, saya nulis lagi. Saya hanya ingin menuliskan bahwa menolong orang lain sangat besar manfaatnya, tidak hanya untuk orang yang kita bantu tapi juga untuk diri kira sendiri. Justru, manfaat yang kita dapatkan lebih besar daripada manfaat orang yang kita bantu.

Mengapa saya bisa berkata demikian? Orang yang membantu orang lain berpotensi menjadi orang terbaik di sisi Allah, sementara orang yang kita bantu tidak. Rasulullah Saw pernah menyampaikan, “Khoirun naas, anfa’uhum lin naas”. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lainnya”. Bukankah membantu orang lain adalah orang yang memberikan manfaat orang lain? Iya bukan? J

Kedua, orang yang membantu orang lain mendapatkan pahala dari Allah, sementara orang yang kita bantu tidak. Jangan dikira kalau pahala hanya bisa didapatkan dengan shalat, puasa, baca al-Quran dan semisalnya yang sifatnya adalah ibadah vertikal langsung dengan Allah. Pahala juga bisa didapatkan dengan ibadah yang sifatnya horisontal, bersinggungan dengan manusia. Sebutlah misalnya syariat zakat dan sedekah. Bukankah keduanya adalah ibadah yang sifatnya horisontal? Berhubungan dengan manusia? Bukankah zakat dan sedekah adalah dalam rangka membantu orang lain?

Ketiga, orang yang membantu orang lain akan dibantu oleh Allah walaupun tidak secara langsung dan tidak harus dibantu oleh orang yang kita bantu sebelumnya. Allah berfirman dalam sebuah qudsi yang tercantum dalam kitab hadits arba’in, “Allah akan menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya”.

Misalnya suatu hari kita membantu A. Lalu pada hari berikutnya ada B yang membantu meringankan beban kita. Nah, memang benar bukan A yang membantu kita. Allah lah yang membantu kita melalui perantara si B. Jadi, kalau kita bantu orang lain maka Allah akan membantu kita. Namun orang yang kita bantu tidak akan dapat bantuan lain dari Allah sebagaimana orang yang membantu, kecuali Allah berkehendak.

Baiklah saudaraku, mungkin itu yang bisa sampaikan. Semoga bermanfaat. :)




Surabaya, 28 Agustus 2015

Agar Tidak Sombong

Saudaraku, tadi ustadz Huda selaku ketua STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim) Surabaya memberikan tausiyah kepada calon mahasiswa  baru. Saya tertarik untuk menuliskan apa yang beliau sampaikan di sini.

Beliau menyampaikan tentang bahaya thagha’ alias sombong. Sombong ini, kata beliau, adalah karakter atau sifat yang berbahaya. Bisa menimpa siapa saja. Ada beberapa hal yang menyebabkan orang sombong. Yaitu kekayaan, wajah yang tampan atau cantik, ilmu, keshalehan, dan kekuasaan. Padahal, siapa yang memberikan itu semua? Allah. Allah Sang Penguasa Alam adalah zat yang menyebabkan semua itu ada.

Harta yang banyak dan uang yang melimpah adalah milik-Nya. Kalau Allah berkehendak, maka harta itu bisa diambil-Nya hingga lenyap seketika.

Wajah yang tampan atau cantik menyebabkan seseorang sombong. Padahal, yang menyebabkan dia tampan adalah Allah Yang Maha Indah. Dia hanya memberikan sedikit saja keindahan yang Dia miliki. Kalau Allah berkehendak, ketampanan dan kecantikan itu bisa sirna.

Begitu juga dengan ilmu. Mungkin orang akan berkata kepada orang yang menegur bacaan al-Qurannya, “Eh, siapa kamu. Hafal Quran saja belum”. Atau seorang pengajar yang dikoreksi oleh muridnya lalu berkata, “Kamu itu tahu apa”. Begitulah kalau orang tidak sadar bahwa ilmu yang dia miliki hanyalah sedikit dan itu adalah pemberian Allah. Allah adalah Al-‘Alim, Sang Pemilik Ilmu. Manusia tak layak sombong lantaran hanya diberi sedikit ilmu oleh-Nya.

Selanjutnya tentang keshalehan. Nah, ini dia nih yang banyak orang tidak sadar. Merasa dirinya shaleh dan suci sehingga memandang remeh orang-orang yang suka bermaksiat. Karena dirinya suka tahajjud, shalat berjama’ah 5 waktu di masjid dan tepat waktu, rajin baca al-Quran, dan sebagainya. Ketika berpapasan dengan orang yang suka bermaksiat hatinya berkata, “Ahli neraka nih, ahli neraka. Kalau saya orang shaleh, orang suci”. Padahal, yang menyebabkan dia bisa shalat, baca al-Quran, dan lain-lain adalah Allah. Tak pantas dia memandang remeh orang lain. Dia merasa dirinya shaleh, padahal boleh jadi dia pernah berbuat dosa yang sampai sekarang tak diampuni oleh Allah. Dia merasa dirinya suci, padahal bisa jadi hatinya kotor dan najis. Tidak layak baginya merasa lebih baik dari orang lain.
Kekuasaan juga begitu. Kekuasaan hanya milik Allah. Dialah al-Malik, Sang Pemilik Kekuasaan. Tak boleh seseorang memandang sebelah mata kepada bawahannya, karena dirinya bukan siapa-siapa di hadapan Allah.

Pertanyaannya, bagaimana solusi agar terhindar dari sombong? Orang sombong memiliki hijab dalam dirinya sehingga dia tidak mampu melihat dirinya sendiri. Nah, hijab ini harus dihancurkan, sehingga bisa mengetahui siapa dia sebenarnya. Dia adalah makhluk Allah yang diberikan sedikit kelebihan oleh-Nya. Allahlah penyebab semua itu. Sewaktu-waktu bisa diambil oleh-Nya. Alhamdu-lillah. Segala macam bentuk pujian hanyalah milik Allah. Hanya Dia yang pantas dipuji. Manusia tidak sama sekali.

Hm...baiklah, itu saja dulu. Semoga bermanfaat apa yang beliau sampaikan. Kata-kata diatas dibuat oleh saya, tapi berdasarkan apa yang saya dapatkan dari beliau.

O ya, sebelum saya sudahi tulisan ini, saya ingin menuliskan status facebook dari seseorang yang pernah saya baca. Begini bunyinya, “Merasa lebih baik dari orang lain adalah kotoran berpenyakit yang setiap harus dibuang ke tempat sampah”. Jadi, kesombongan itu bisa muncul setiap hari. Maka dari itu, kita harus berusaha agar setiap hari kita rajin membuangnya ke tempat sampah.

Semoga bermanfaat. J



Surabaya, 27 Agustus 2015

Sekelumit tentang Pemikiran Feyerabend

Saudaraku, saya ingin menuliskan tentang sesuatu. Tapi sedikit. Bukankah blog ini saya beri nama dengan coretan kecil? Jadi tidak apa-apa saya isi dengan hal-hal kecil, namun bermanfaat.

Jadi begini, beberapa hari yang lalu saya diajak teman untuk ikut acara diskusi. Diskusinya tentang filsafat. Waktu itu yang dibahas adalah salah satu tokoh postmodern, yaitu Karl Paul feyerabend. Tapi karena namanya susah diucapkan, ada salah satu peserta diskusi yang menyebutnya powerbank. Hehe. Ada-ada aja.

Selain disebut sebagai tokoh posmodernisme, Feyerabend juga disebut sebagai tokoh kiri. Kenapa disebut sebagai tokoh postmodernisme? Karena dia mengkritik pemkiran-pemikiran modernisme seperti Rene Descartes, Immanuel kant, dan lain-lain. Kenapa disebut sebagai tokoh kiri? Karena dia berangkat dari sisi sosial, yang merupakan cara pembacaan kiri sebagaimana Karl max, tokoh utama pemikiran kiri.

Pemikiran Feyerabend disebut-sebut sebagai anarkisme epistemologi. Kenapa demikian? Karena ia ingin melakukan dobrakan atas gagasan pemikiran-pemikiran sebelumnya yang dianggap paling benar.

Sebenarnya, dia ahli fisika. Dia juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh modernisme. Namun kemudian dia menemukan kesimpulan bahwa selama ini kebenaran positivistik disebut-sebut oleh tokoh filsafat sebagai hal yang baku, absolut, dan paling unggul. Menurut feyerabend, masih banyak cara dan sudut pandang  untuk mengungkapkan kebenaran, tidak hanya dimonopoli oleh sudut pandang positivistik.

Kalau ada pandangan bahwa kebenaran tunggal dan paling benar adalah berdasarkan sudut pandang positivistik, maka yang terjadi adalah epistemologi menjadi sakit. Lantas apa obatnya? Feyerabend lantas menawarkan obat penyembuh bernama anarkisme epistemologi, yang ditempuh melalui anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan.

Anti metode yang dimaksud adalah melawan kemapanan penelitian positivistik yang dianggap baku, universal, dan kekal. Solusi yang ditawarkan adalah 2 langkah sebagai pengganti. Pertama, prinsip perkembangbiakan (kebenaran yang ada tidak tunggal). Dan yang kedua, prinsip apa saja boleh.

Anti terhadap ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan. Menurutnya, kebenaran positivistik yang dikatakan baku, absolut, dan paling unggul ternyata diselubungi oleh kepentingan-kepentingan berupa propaganda para ilmuwan dan adanya tolak ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskan. Selain itu, menurutnya kebenaran positivistik ilmu sama seperti zaman kegelapan (dark age) dimana terjadi monopoli kebenaran gereja.

Hm...menarik juga ya. Oke, cukup dulu. Semoga bermanfaat.



Surabaya, 23 Agustus 2015

Senin, 17 Agustus 2015

Ajaran Islam tidak Kuno

 Saudaraku, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan tausiyah yang bagus dari salah seorang ustadz. Saya ingin menyampaikan kembali apa yang ia sampaikan, tapi menggunakan bahasa saya.

Ia menjelaskan bahwa saat ini orang-orang liberal berusaha membuat keyakinan orang Islam terhadap ajaran nabi Muhammad tergerus. Mereka beranggapan bahwa ajaran nabi adalah ajaran yang kuno. Padahal, ajaran dari  beliau (yang tentunya berasal dari Sang Pencipta) adalah ajaran yang luar biasa dan cocok untuk segala zaman.

Sang ustadz kemudian memberi contoh ketika terjadi diskusi antara seorang muslimah bercadar dengan orang liberal. Ketika muslimah ini memberikan berbagai penyampaian materi, orang liberal tersebut memuji bahwa si muslimah pemikirannya cemerlang dan modern. Tapi kemudian menyayangkan karena si muslimah memakai pakaian yang kuno menurutnya.

Si muslimah kemudian menyatakan bahwa justru dia memakai jilbab dan cadar setelah dari proses berpikirnya selama ini. Ia juga menyampaikan bahwa ajaran nabi (Islam) membawa ummat manusia kepada generasi yang beradab. Dulu, ketika manusia belum beradab, mereka tidak mengenakan pakaian. Kalaupun memakai pakaian, sekedarnya saja karena teknologi waktu itu masih sangat sederhana. Mereka kemudian semakin beradab setelah memakai pakaian yang sopan. Si muslimah bercadar ini kemudian mengatakan bahwa hewan adalah makhluk tak beradab karena tidak mengenakan pakaian.

Jadi kesimpulannya, ajaran Islam itu cocok di zaman ini karena peradaban itu modern atau kuno bukan didasarkan pada pakaian. Justru orang yang tidak berpakaian adalah orang yang tidak beradab.


Baiklah, mungkin itu dulu saudaraku. Semoga bermanfaat J



Gresik, 25 Mei 2015 

Jumat, 05 Juni 2015

Islam dan Krisis Amal Nyata

 Saya kemarin membaca buku berjudul “Mencetak Kader”. Buku ini berisi profil Allahuyarham ust. Abdullah Sa’id dari kecil sampai wafat, termasuk juga pemikiran-pemikiran beliau tentang Islam. Buku ini juga berisi perjuangan beliau mendirikan hidayatullah sebagai pesantren di Gunung Tembak, Balikpapan yang kemudian berkembang pesat dan tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Hidayatullah kemudian menjadi organisasi sosial (orsos) dan yang terakhir menjadi organisasi masyarakat (ormas).

Dalam buku tersebut diterangkan alasan beliau mendirikan pesantren hidayatullah. Di antara alasannya adalah, karena sekarang ini teori kehebatan Islam hanya tersebar di buku-buku dan di berbagai lembaran. Namun, dalam praktek lapangan orang-orang belum bisa merasakan seperti apa kehebatan Islam sesungguhnya. Maka diperlukan sebuah usaha kongkret walaupun dalam skala terkecil untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan mendirikan pesantren hidayatullah.

Auguste Comte..Auguste Comte..

 Orang seperti Auguste Comte telah membagi 3 tahap evolusi; yaitu tahap teologis, tahap metafisika, dan tahap positivistik.

Katanya, tingkatan tertinggi adalah tahap positivistik yang ciri-cirinya ilmiah, tidak ada unsur teologis dan metafisik. Itu artinya, semakin meninggalkan Tuhan atau yang ghaib, akan semakin maju.

Astaghfirullah, itukah pendapat “tokoh” yang dipuja-puji? Baiklah, menurut orang banyak ia adalah tokoh. Menurut saya, iya, dia itu tokoh. Tapi tokoh yang menggiring kepada kesesatan.

Tidak boleh takut dicap radikal. Tidak harus tajut dicap fundamental. Karena pada hal-hal tertentu, itu sangat baik sekali. Bahkan teramat baik.

Perang pemikiran itu dahsyat sekali. Maka hendaknya, menguatkan akidah agar tak tersesat. Agar tidak salah jalan.



NB: Tulisan ini ditulis pada 23 Agustus 2012 di buku catatan, lalu dipindahkan ke blog ini.

Panceng, 11 Februari 2015

Sedikit Tentang Jihad

Tadi aku ikut kajian kitab bersama ust. Abdurrahman . Ada dua sub judul yang disampaikan. Sub judul yang pertama, melanjutkan yang kemarin yaitu tentang “buah” dari jihad. Adapun sub judul kedua adalah penjelasan bahwa jihad adalah ujian untuk menguatkan iman.

Dari penjelasan tersebut, saya merasakan hikmah berupa perlunya bersungguh-sungguh, berjihad,  dan bermujahadah. Meskipun tidak berperang dengan orang kafir, tapi bisa direfleksikan dalam kehidupan di luar perang. Walau memang, tetap tak boleh takut untuk berperang.

Yaitu bahwa, menang atau kalah, orang-orang beriman tetaplah “pemenang”. Jika menang, orang Islam dapat kejayaan. Orang-orang akan tergetar hatinya dan kemudian berbondong-bondong masuk Islam. Namun jika kalah, meninggal, maka ia “menang” karena mati syahid, masuk surga.

Selanjutnya dibacakan surat ali-Imron ayat 138-143. Dalam ayat tersebut, Allah “memotivasi” dan “menghibur” kaum muslimin, sekaligus memberi “peringatan” kepada orang-orang munafik.

Hm...baik, itu yang bisa saya tuliskan. Semoga bermanfaat. J


NB: Tulisan ini saya ketik ulang dari buku catatan yang saya tulis pada 24 Juli 2012 di Surabaya.

Panceng, 6 Februari 2015



Sedikit dari Buku Ma’alim Fit Thariq

Saya akan menulis tentang buku yang saya baca tadi pagi, yaitu “Ma’alim fit Thariq”, yang ditulis oleh Sayyid Qutub. Sebenarnya, sudah lama saya tahu buku ini. Namun, baru kali ini aku bisa membacanya.

Sebenarnya, saya belum tuntas membaca buku itu, tapi saya kira nggak apa-apa menulis apa yang saya dapatkan.

Gini, di awal tulisan Sayyid Qutub banyak menyinggung akidah. Peradaban Barat, katanya, telah mengutamakan sisi ekonomi, dan lain-lain. Tapi dalam Islam, akidahlah yang  diutamakan. Beliau menjelaskan, Allah tidak mengutamakan masalah moral, ekonomi, dan lain-lain. Akidah yang diutamakan, bukan yang lain.

Beliau juga sering menyebut beberapa kata-kata seperti thaghut, jahiliah, dan lain-lain.

Terus ini. Ada satu hal yang saya kira menarik. Dulu, pada zaman Rasulllah Saw, penguasa arab hanyalah boneka dari Persia dan Romawi. Nah, saya jadi menyimpulkan bahwa beliau mau menyampaikan kondisi sekarang. Semacam itu.
Terus, beliau juga menyatakan bahwa hanya Islamlah yang paling cocok untuk sistem kehidupan. Dan, syariat Islam hendaknya/harus diterapkan.

Membaca tulisan Sayyid Qutub ini, saya jadi tambah dalam berislam. Saya juga berpikir, mengapa dalam PKS, HTI, atau Hidayatullah. Kader-kadenya ada yang “bersitegang”? Bukankah cita-citanya sama? Bukankah metodenya saja yang berbeda?

Hm..baik, udah dulu ya. Semoga bermanfaat.


NB: Tulisan ini saya ketik ulang dari buku catatan yang saya tulis pada 29 Juni 2012 di Surabaya


Panceng, 1 Februari 2015

Tentang Ilmu dan Iman

Alhamdulillah, saya bisa nulis lagi. Saya mau nulis sedikit saja.

Yang pertama, ternyata pak Hamid dalam bukunya, “Peradaban Islam” menyatakan bahwa Peradaban Islam mencapai puncaknya 3 abad setelah masa kenabian. Padahal, saya pernah mendengar atau membaca bahwa peradaban yang paling agung adalah peradaban di Madinah, yaitu di masa nabi. Makanya, nanti saya mau tanya-tanya lagi atau cari informasi. Semoga bisa.

Terus, aku juga mau nulis tentang apa yang aku dapatkan setelah saya tanya-tanya kepada ustadz Furqon dan ustadz Kholiq tentang iman dan ilmu.

Dari Ust. Kholiq, aku dapat pencerahan bahwa secara historis, ilmu itu lebih dahulu daripada iman. Adapun dari segi pemanfaatan, ilmu itu dikendalikan oleh iman.

Adapun dari ust. Furqon, aku dapat ilmu bahwa secara epistemologis ilmu dan iman ibarat 2 sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Sedangkan dari sisi omtologis, ilmu dan iman memang terpisah dan di antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi.

Oke, semoga bermanfaat. Amiin.



NB: Tulisan ini saya ketik ulang dari buku catatan yang saya tulis pada 22 Juni 2012 di Surabaya.

Menjadi Orang Bahagia, Selektif, dan Produktif

Alhamdulilah saudaraku, akhirnya saya bisa nuis di sini. Lama sekali saya tak menulis di sini. Padahal, targetnya menulis setiap hari. Targetnya muluk sekali ya. Tapi nggak papa, tetap saya pasang target menulis setiap hari. Siapa tahu bisa.

Sebelum saya tuliskan apa yang ingin saya tulis, saya ingin menjadikan menulis sebagai hobi. Kalau sudah hobi, maka saya akan enjoy menulis dan ketagihan. Nah, tampaknya saya belum menjadikan aktivitas menulis sebagai hobi.

Baiklah saudaraku, tiba saatnya bagi saya untuk menulis apa yang ingin saya tulis. Beberapa waktu lalu, saya membaca majalah milik Nurul Hayat (NH). Di sana buka rubrik yang diasuh Prof. Dr. Ali Aziz. Dia adalah guru besar UINSA Surabaya dan imam tarawih di berbagai negara. Dan yang membuat saya bersyukur, beliau adalah dosen saya. Alhamdulillah.

Judul yang dia berikan di rubrik tersebut adalah “Muslim Selektif Produktif”. Tulisannya dibuka dengan 3 ayat pertama dari surat Al-Mu’minun. Uniknya, kata “qod aflaha” tidak diartikannya sebagai “Sunggguh beruntung”, tapi diartikan “Sungguh bahagia”. Dan memang, makna keduanya mirip. Orang yang beruntung pasti akan bahagia.

Begini redaksi terjemahannya, “Sungguh berbahagia orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak berguna”.

Afifah Afra dan Diary

Tadi saya baca buku ust. Anshor berjudul “Be A Briliant Writer”. Penulisnya adalah Afifah Afra. Nama ini adalah nama pena. Kalau nggk salah, umurnya 32 tahun. Dia ternyata “murid” dan penggemar dari Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Izzatul Jannah, dll. Dia juga “orang” tarbiyah. Bisa dilihat dari “sampel” yang ia sampaikan, seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, dll. Dia ternyata sudah menulis 42 buku, dan diterbitkan. Selain itu, Afifah Afra ini juga punya blog/situs dengan alamat afifahafra.net. Hm...jadi kepingin baca nih J. Eh salah, ingin buka situsnya.

Hm..yang saya masih ingat juga adalah tentang diary. Ternyata dia juga adalah “penulis” diary. Dan yang dia ketahui, sebagian penulis yang dia kenal, ternyata juga menulis diary.

Terus ini saudaraku. Ternyata, di awal-awal dia pernah menulis dengan tangan sebuah cerita dalam 10 buku. Dan, satu buku berisi 24 halaman. Jadi, 240 halaman dong. Baru setelah itu, dia ketik ulang di rental. Subhanallah.



NB: Tulisan ini saya ketik ulang dari buku catatan yang saya tulis pada 29 Juni 2012 di Surabaya