Saudaraku, karena kemarin saya tidak menulis, maka kali ini saya akan menuliskan (berupa respon atau analisa, atau apalah) 2 sub judul dari buku Harun Nasution yang berjudul “Islam Rasional”. Dua sub judul yang dimaksud adalah ‘Masalah Akal dan Akhlak’, dan ‘Pandangan Islam tentang Keadilan’.
Terkait yang ‘Masalah Akal dan Akhlak’, ada tulisan Harun Nasution yang saya tidak setuju. Di antaranya, dia menuliskan bahwa pelajaran agama yang diberikan secara tradisional (seperti yang diterapkan di pondok-pondok pesantren salaf di Indonesia serta lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Mekah, Madinah, atau al-Azhar ) tidak mementingkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak. Yang banyak dijalankan dalam lembaga-lembaga ini menurutnya guru memompakan pengetahuan keagamaan ke dalam anak didik. Sebaliknya, lanjut dia, Institut Studi Islam yang ada di dunia Islam maupun Barat dengan kurikulumnya yang berbeda menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.
Menurut saya, ini aneh dan lucu. Masak pesantren salaf yang menerapkan kurikulum tradisional disebutkannya tidak menonjolkan pendidikan akhlak. Justru akhlak sangat ditekankan di pesantren-pesantren salaf. Coba sekali-kali berkunjung ke pesantren, maka akan dijumpai para santri menunjukkan penghormatan yang luar biasa kepada ustadz atau kiainya. Begitu juga penghormatan mereka kepada kitab atau buku. Mereka juga diajarkan berakhlak kepada Allah SWT, Rasul, dan para sahabat.
Sekarang, coba lihat akhlak para penuntut ilmu yang ada di institut studi Islam, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Apa memiliki kualitas yang sama dengan pesantren-pesantren salaf dalam hal menjunjung akhlak? Saya kira tidak. Pada beberapa tahun terakhir saja ada mahasiswa/dosen yang berani menginjak-injak lafadz Allah. Begitu juga terdapat mahasiswa yang berteriak lantang, “Anjinghu Akbar”. Astaghfirullah.
Di tulisan pada sub judul ini, Harun Nasution tampaknya membela golongan mu’tazilah, kaum filosof, dan kaum sufi di masa lampau. Salah satu indikasi yang mengarah ke sana ada pada tulisan terakhirnya. Ia mengkritik kalangan Islam selain yang disebut di atas (mu’tazilah, filosof, dan sufi) karena mereka, katanya, memiliki rasa cemas terhadap akal. Kenapa? Karena menurutnya pemikiran akal menghasilkan pendapat-pendapat yang sepintas lalu kelihatan bertentangan dengan teks wahyu. Dan mereka katanya masih banyak terikat kepada arti harfiyah dari teks al-Quran; berbeda dengan 3 golongan di atas yang memberi arti metaforis.
Tapi masalahnya, apakah kalau terlalu mengagungkan akal sebagaimana dilakukan kaum mu’tazilah tidak berbahaya? Sebenarnya pun, kalangan islam selain mu’tazilah bukan berarti tidak menghargai akal. Justru kita bisa memahami teks-teks wahyu dari akal. Kalau tidak berakal, kita tidak bisa memahami wakyu. Hanya saja, jangan terlalu diagungkan. Tapi juga jangan dipisahkan. Karena sebagaimana kata Imam gazali, wahyu dan akal sama pentingnya. Ia mengibaratkan; wahyu itu matahari, dan akal adalah mata. Tanpa ada matahari, kita tidak bisa melihat. Begitu sebaliknya, tanpa mata kita tidak bisa melihat apapun walau ada matahari. Dan yang perlu diingat matahari ada di atas dan mata ada di bawah; jadi lebih tinggi matahari. Selain itu, matahari secara substansial jauh lebih besar dan agung dibandingkan dengan mata. Begitu juga dengan wahyu dan akal. Wahyu masih lebih tinggi dan agung daripada akal.
Pembelaan terhadap Mu’tazilah tampaknya juga bisa dilihat pada sub judul selanjutnya, yaitu “Pandangan Islam tentang Keadilan”. Di tulisan ini dia lumayan banyak mengupas pertentangan antara muktazilah dan Asy’ariyah mengenai konsep keadilan. Yang pada intinya, kalau Asy’ariyah berpandangan bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan muktazilah memiliki pandangan bahwa adil adalah memberikan seseorang akan haknya (hal. 66). Perbedaan pemahaman mengenai konsep keadilan ini sangat kentara ketika membahas tentang keadilan Allah. Kalau Mu’tazilah membahas keadilan dari segi “Tuhan harus bersikap adil terhadap makhluk-Nya”, sedangkan Asy’ariyah meninjau masalah tersebut dari segi “manusia harus bersikap adil terhadap Tuhan, pencipta-Nya” (hal. 68). Asya’Ariyah lebih menekankan konsep kehendak Allah. Orang-orang akan dimasukkan ke neraka atau surga itu adalah kehendak Allah. Adapun bagi muktazilah, Allah harus memasukkan orang baik ke surga dan orang jahat ke neraka.
Tampaknya Harun Nasution ingin menunjukkan bahwa pemikiran muktazilah lebih baik daripada Asy’ariyah. Tapi bagi saya, penjelasannya justru menjadikan saya meyakini bahwa pendapat Asy’ariyah lebih baik dan lebih pas. Pertanyaan kritis saya terhadap pandangan kaum mu’tazilah ini adalah, apa layak dan pantas kita mengatakan Allah wajib berbuat adil dan tidak boleh berbuat zalim? Apa ini bukan sebuah pernyataan lancang? Siapa kita? Bukankah kita hanya makhluk dan Dialah pencipta? Yang lebih tepat kita katakan, Allah Maha Berkehendak. Dalam hadits nabi disebutkan bahwa walaupun Abu Thalib, paman nabi kafir; akan mendapatkan siksaan yang paling ringan ketika di neraka. Yaitu, ketika bara api ditaruh di telapak kaki, maka otak yang ada di kepala akan mendidih. Pertanyaannya, apa kita katakan Allah tidak adil karena mengistimewakan Abu Thalib? Bukankah pemahaman yang lebih pas yaitu, Allah itu Maha Berkehendak? Wallahua’lam bis shawab.
Panceng, Gresik, 3
November 2013






0 komentar:
Posting Komentar