Senin, 23 Januari 2017

Mau Hidup Tenang?

Setiap orang pasti ingin tenang dalam menghadapi kehidupan. Tak ada seorang pun yang ingin hidupnya penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Nah, saya menemukan sebuah tips yang disampaikan oleh da’i nasional, Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym saat mengisi ceramah di Korea Selatan.

Agar hidup tenang, kata Aa Gym, ada rumusnya. Rumus tersebut ia singkat menjadi PTD. P adalah Pengetahuan. T adalah Terlatih. D adalah Dzikrullah.

Rumus pertama adalah P alias Pengetahuan. Mengapa pengetahuan akan menjadikan hidup seseorang tenang? Aa Gym pun membuat sebuah contoh. Misal ada dua orang yang pergi ke sebuah hutan. Orang pertama sudah pernah ke hutan tersebut. Ia tahu apa saja yang ada di hutan. Namun orang yang kedua belum pernah alias tidak tahu sama sekali tentang hutan tersebut. Karena tidak tahu, orang kedua pun merasa panik. Dia pun membawa air yang sangat banyak karena khawatir kehabisan air. Namun orang pertama santai. Dia tidak bawa air. Karena dia tahu bahwa mereka akan melewati sebuah mata air yang sangat jernih. Jadi dia tidak perlu repot-repot membawa air.

Begitu juga ketika ada babi hutan, orang pertama sangat ketakutan. Panik luar biasa. Sedangkan orang kedua tenang saja, karena dia tahu cara menghindari babi hutan. Dia tahu, bahwa babi hutan hanya berjalan lurus tidak mungkin berbelok. Maka dia cukup berbelok untuk menghindari babi hutan. Namun orang pertama berlari lurus. Dia tidak tahu ilmu menghindari babi hutan. Akhirnya dia dikejar terus oleh si babi hutan.

Begitulah manfaat pengetahuan atau ilmu. Ia menjadikan hidup manusia tenang. Maka agar hidup tenang, carilah ilmu sebanyak-banyaknya. Baca buku, majalah, buletin, ataupun artikel bermanfaat untuk kehidupan. Ikuti majelis ta’lim, seminar, workshop, atau pelatihan.

Rumus kedua adalah T alias Terlatih. Maksudnya, kita hendaknya menjadikan apa-apa yang tidak senangi sebagai latihan. Misalnya, ada orang yang mengejek kita, maka anggap saja itu sebagai latihan sabar untuk kita. Toh, kalaupun orang lain mengejek wajah kita, misalnya, wajah tersebut tidak akan berubah dan harta kita tidak akan berkurang. Ejekan yang dia lontarkan tidak memiliki efek apa-apa.

Hanya saja, biasanya kita mengharapkan penghargaan dan pujian dari orang lain. Sehingga ketika diejek, penghargaan dan pujian tak lagi dimiliki. Kita pun jengkel karena tidak mendapat penghargaan dan pujian.

Nah, ketika ada yang mengejek ataupun saat ada hal-hal yang tidak menyenangkan, kita jadikan itu semua sebagai latihan. Latihan dan latihan hingga terlatih. Kalau sudah terlatih, hidup akan tetap enjoy dan menyenangkan.

Rumus ketiga adalah D alias Dzikrullah. Berdzikir kepada Allah. Mengingat Allah. “Alaa bidzikrillah, tathmainnul qulub”, “Hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan tenteram”, firman Allah dalam kalam suci-Nya. Jadi, dzikir adalah obat penenang yang sangat ampuh bagi kita. kalau mau tenang, mau hendaknya kita berdizikir sebanyak-banyaknya.

Ada yang mau menerapkan rumus ini? Silahkan. Semoga berhasil. :)

Surabaya, 23 Januari 2017

Minggu, 11 Desember 2016

Solusi saat Jiwa Lapar

Pernahkah jiwa kita terasa sempit dan terdesak? Seolah-olah ada batu yang hendak jatuh dari atas. Permasalahan dunia pun terasa sangat besar dan agung sehingga terasa mustahil untuk bisa diselesaikan. Hati gelisah bukan main. Sama sekali tidak ada ketenangan. Bingung harus melakukan apa. Pikiran buntu.

Kalau merasakan hal itu, maka bisa dipastikan jiwa yang dimiliki sedang berada dalam kondisi lapar dan haus yang parah. Kalau hal ini terjadi pada diri kita, maka ada solusi ampuh yang bisa diterapkan. Apa itu?

Yaitu membaca al-Quran sebanyak-banyaknya. Semakin banyak ayat al-Quran yang dibaca maka semakin berkurang kegelisahan. Semakin lama membaca, maka akan semakin tenang jiwa kita. Batu di sudut hati yang sangat keras akan pecah dan mengeluarkan air segar yang kemudian menyirami jiwa.

Dan memang, al-Quran adalah obat bagi apa yang ada dalam dada (hati/jiwa). Syifaa-an fis sudhur, obat bagi apa yang ada dalam dada, firman Allah dalam kalam suci-Nya.

Itulah solusi yang diberikan Allah saat jiwa sedang lapar. Saat pikiran kalut dan hati gelisah tak menentu.

 Namun ironisnya, banyak dari kita yang mencari solusi lain yang ditawarkan oleh setan laknatullah dan hawa nafsu jahat. Bukan membaca al-Quran atau berdzikir, namun justru tenggelam dalam gelombang maksiat. Bukan mendekat ke masjid, justru lari menjauh sejauh-jauhnya. Akhirnya, jiwa semakin merana dan tidak karuan.

Kalau ini yang terjadi, maka sesungguhnya kita sedang terjatuh ke dalam jebakan setan laknatullah dan hawa nafsu jahat. Keduanya memang bersekongkol untuk mengelabui lalu menghajar kita. Dihiasnya amalan neraka seolah surga. Racun diberi merek madu. Bangkai dibungkus dengan kemasan yang menarik seolah daging segar. Akhirnya kita terlena untuk larut dalam maksiat. Hati pun membatu dan mengeras.

Maka saat sadar berada dalam kondisi ini, langkah yang harus ditempuh adalah berusaha sekuat tenaga untuk mebaca al-Quran. Berdzikir. Mendekat ke masjid. Awalnya mungkin berat. Tapi lama kelamaan, hati yang awalnya membatu akan semakin mencair dan akhirnya menghasilkan ketenangan dan kelapangan. Pikiran pun jernih. Optimisme kembali meningkat. Pandangan kembali terang. Kebahagiaan hakiki juga akan ikut muncul dan menyirami jiwa.

InsyaAllah, dengan bacaan al-Quran dan dzikir, jiwa yang sedang lapar akan menjadi kenyang. Semoga kita mampu mengamalkannya. Amiin.


Surabaya, 9 Desember 2016


Rabu, 07 Desember 2016

Membela al-Quran

Akhir-akhir ini di Indonesia sedang ramai dengan isu penistaan al-Quran yang dilakukan salah gubernur Jakarta yang non muslim. Maka menanggapi itu, umat muslim tumpah ruah turun ke jalan melakukan aksi damai untuk menuntut aparat agar memenjarakan sang penista. Aksi tersebut disebut sebagai aksi bela Islam atau bela al-Quran.

Aksi bela Al-Quran ini dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama, dilakukan pada bulan Oktober, lalu yang kedua dilakukan pada 4 November 2016 (411) dan yang ketiga dilakukan pada tanggal 2 Desember 2016  (212). Peserta aksi bela al-Quran yang pertama hanya ribuan, namun pada aksi kedua dan ketiga mencapai angka jutaan. Bahkan aksi ketiga ini dua atau tiga kali lipat dari yang kedua. Walaupun ada perdebatan terkait jumlah berapa orang yang ikut dalam aksi ini.

Nah, ada satu hal penting yang saya ingin tuliskan di sini terkait pembelaan terhadap al-Quran. Hal ini saya dapatkan ketika saya melakukan penyimpulan dari apa yang disampaikan para para da’i yang memberikan tausiyah pada aksi bela Islam yang ketiga (212) seperti Habib Riziq, Aa Gym, dan ustadz Arifin Ilham.

Peristiwa ini merupakan bentuk teguran Allah kepada umat Islam untuk membela al-Quran yang merupakan kalam-Nya. Dan, bentuk pembelaan terhadap al-Quran tidak hanya sekedar menuntut keadilan terhadap sang penista al-Quran. Namun, lebih jauh lagi, hendaknya menjadi bahan renungan dan intropeksi bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan al-Quran. 

Hendaknya, pembelaan al-Quran ini ditindaklanjuti dengan berusaha memperbanyak membaca al-Quran, mempelajari isinya, mentadabburinya, mengamalkannya, menghafalnya, dan mengajarkannya. Itulah bentuk pembelaan al-Quran yang hendaknya dilakukan oleh kaum muslimin.

Semoga kita bisa membela al-Quran dengan sebaik-baiknya. Amiin.



Surabaya, 7 Desember 2016

Selasa, 22 November 2016

Sumber Ilmu dalam Islam

Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya tentang sumber ilmu. Diskusi tersebut bermula dari seorang sahabat (sahabat pertama) yang menyampaikan bahwa sumber kebenaran (baca: ilmu) ada empat, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan wahyu. 

Lalu sahabat yang lain (sahabat kedua) menanggapi bahwa sumber kebenaran adalah al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.

Setelah ikut terlibat dalam diskusi tersebut, saya kemudian berusaha menelusuri pembahasan tersebut sembari bertanya kepada orang yang saya anggap mumpuni dalam bidang ini. Dari hasil penelusuran dan proses bertanya tersebut saya kemudian berusaha merangkumnya dalam coretan kecil ini.

Apa yang disampaikan oleh sahabat yang pertama penjelasannya ada dalam sebuah kitab yang ditulis seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanafi bernama Imam An-Nasafi (wafat tahun  berjudul ‘Aqaid” yang kemudian disyarah oleh muridnya dengan judul: “Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah”.

Imam  An-Nasafi, seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin keilmuan ini menuliskan,


وأسباب العلم للخلق ثلاثة: الحواس السليمة, و الخبر الصادق, والعقل"

"Sebab-sebab ilmu bagi makhluk ada 3, yaitu panca indera yang sehat, khabar shadiq (informasi yang benar), dan al-‘aql (akal)". (Lihat: Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 69-71).

Jadi untuk makhluk (baca: manusia) secara umum, sebab-sebab diperoleh ilmu ilmu ada 3, yaitu panca indera, khabar Shadiq (informasi yang benar), dan akal. Namun untuk orang-orang tertentu, Allah karuniakan saluran ilmu yang lain, yaitu ilham/intuisi (hal. 96-97), sehingga totalnya menjadi empat.

Landasan dari hal ini tertera dalam al-Quran. Dalam surat an-Nahl ayat 78, misalnya, Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Begitu juga dengan firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 179, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.
Berikut ini penjelasan mengenai empat sumber tersebut.
Pertama adalah panca indera. Panca indera yang dimaksud adalah persepsi indrawi yang berjumlah lima; yaitu mendengar, melihat, merasa, mencium (membau), dan menyentuh.
Kedua adalah khabar shadiq. Khabar shadiq bermakna informasi yang benar. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang berasal dari Allah, baik berupa kitab suci (al-Quran)  ataupun sunnah nabi.
Ketiga adalah akal. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan nalar dan alur pikir ini kita bisa menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat kesimpulan, dan lain-lain.
Keempat, yang terakhir, adalah ilham (intuisi/intuition). Ia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, seperti para nabi dan orang-orang shalih. Seperti misalnya nabi Ya’qub yang berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya” (QS. Yusuf: 96). Atau perkataan nabi Muhammad, “Tuhan saya telah mengilhamkan kepada saya” (Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 97).
Begitu juga Umar bin Khattab. Dia adalah orang shaleh yang Allah karuniakan Ilham. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan Nabi, jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umar lah orangnya ” (HR. Bukhari).

Baik, kita sudah membahas tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan khabar shadiq.

Lantas, bagaimana dengan jawaban sahabat saya yang kedua yang menyatakan bahwa sumber ilmu adalah al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas?

Kalau jawaban untuk sahabat yang pertama saya paparkan bahwa hal itu sudah dijelaskan oleh Imam Nasafi, maka untuk jawaban sahabat saya yang kedua ini diterangkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul “Ar-Risalah”.

Dalam kitab yang populer tersebut, Imam Syafi’i berkata, “

" ليس لأحد أبدا أن يقول فى شيئ حل ولا حرم إلا من جهة العلم, وجهة العلم الخبر فى القرآن أو السنة أو الإجماع أو القياس"
“Tak seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui informasi yang ada di al-Quran, sunnah, ijma’ atau qiyas” (Ar-Risalah, hal. 508)

Berikut penjelasan tentang keempat sumber ilmu tersebut.

Pertama adalah al-Quran. Al-Quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah swt.

Kedua adalah sunnah. Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.

Ketiga adalah ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.

Keempat adalah qiyas. Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nashز

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keempat sumber tersebut tidak terlepas dari al-Quran dan hadits. Maka tidak mengherankan jika Imam Syafi’i membuat pola hierarkis yang kedudukannya berurutan. Sumber yang pertama al-Quran, yang kedua hadits, yang ketiga ijma’, dan yang keempat qiyas. Urutannya harus begitu. Tidak boleh dibolak-balik.  

Dengan hierarkis seperti ini mempunyai implikasi bahwasanya segala jenis ilmu harus sesuai dengan standar al-Quran, dan tidak boleh bertentangan. Kalaupun ada ilmu yang kontradiktif dengan al-Quran, maka di sana ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ilmu itu salah, dan kemungkinan kedua, pemahaman dan penafsiran kita tentang al-Quran itu yang salah.

Baik, kita sudah mendapat penjelasan tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama dan juga menurut sahabat saya yang kedua. Sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama (panca indera, akal, khabar shadiq, intuisi) bisa ditelusuri dalam kitab Imam An-Nasafi, dan sumber ilmu menurut sahabat saya yang kedua (al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas) bisa ditelusuri dalam kitab Imam Syafi’i.

Lalu, mana yang benar? Pendapat sahabat saya yang pertama atau pendapat sahabat saya yang kedua?

Menurut hemat saya, keduanya sama-sama benar. Perbedaanya terletak pada dari sisi mana kita melihatnya. Keempat sumber ilmu menurut Imam Nasafi (panca indera, akal, khabar shadiq, dan intuisi) adalah sumber ilmu yang dilihat dari sisi epistemologis, yaitu alat/saluran/instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan keempat sumber ilmu menurut Imam Syafi’i (al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas) adalah sumber ilmu yang dilihat dari aspek sumber ilmu syariah, yaitu mashadirul ahkam (sumber hukum-hukum) dalam Islam yang senantiasa dijadikan sandaran. Wallahua’lam bis shawab.



Surabaya, 23 November 2016

Senin, 06 Juni 2016

Ramadhan dan Kesungguhan

Tahukah anda, kapan perang badar dilaksanakan. Ya, anda benar. Perang badar tepat dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Jadi kondisi lapar dan haus karena melaksanakan puasa bukanlah sebuah alasan untuk bersantai ria. Justru pada saat itulah perjuangan dan usaha yang bersungguh-sungguh dipraktekkan oleh generasi terbaik, Rasulullah dan para sahabat.

Sebagaimana diketahui, bahwa perang badar adalah perang penentu. Kalau menang, maka Islam akan jaya. Kalau kalah, Islam akan semakin diinjak-injak. Maka selain doa yang dipanjatkan dengan kesunngguhan luar biasa, pertempuran gigih nan perkasa ditunjukkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Hebatnya, hal itu mereka lakukan dalam kondisi perut kosong dan kerongkongan tercekat karena kehausan. Fisik boleh lemah, perut boleh lapar, namun jiwa dan ruhani mereka kuat dan iman mereka kenyang. Sehingga pertempuran sengit dan keras merka tunjukkan di hadapan Rabbul Izzati.

Jika demikian halnya yang dilakukan nabi dan para sahabat pada saat Ramadhan, maka ironis sekali jika seorang muslim mengisi Ramadhannya dengan tidur, bersantai ria, dan tak banyak melakukan aktivitas kebaikan. Kalau memang mengaku umat nabi Saw, tentunya kita akan mencontoh apa yang beliau lakukan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan aktivitas dengan bersungguh-sungguh dalam bulan Ramadhan.

Namun yang harus digaris bawahi, niatkan pekerjaan kita itu untuk Allah agar tidak sia-sia. Tujuannya benar, yaitu berusaha mencontoh Rasulullah dan para sahabat, bukan karena ingin dipuji dan dikatakan orang hebat dan sholeh. Bukan. Kalau itu yang terjadi, maka harus siap merelakan pahalanya terbakar tak tersisa.

Semoga di bulan mulia ini kita mampu melakukan upaya dengan kesungguhan yang besar sebagaimana nabi dan para sahabat. Semoga kita mampu melipatgandakan usaha dan kesungguhan kita, jauh melebihi porsi kesungguhan di luar Ramadhan. Amiin.



Surabaya, 6 Juni 2016

Senin, 23 Mei 2016

Dosa dan Istighfar

Dalam menjalani hidup ini, terutama di zaman sekarang, kita seolah dipaksa untuk berbuat dosa, terutama maksiat mata. Berada di dalam ataupun luar rumah, potensi berbuat dosa sama besar. Ketika berada di luar rumah, aurat terbuka di mana-mana. Baik perempuan maupun laki-laki banyak yang tidak menutup auratnya dengan sempurna.  

Ketika berada di dalam rumah potensi berbuat dosa juga tidak kecil, terutama bagi yang memiliki televisi ataupun alat elektronik semisal laptop dan handphone. Banyak sekali godaan untuk berbuat dosa. Seseorang yang awalnya tak punya niatan bermaksiat mata, akhirnya berlama-lama menikmati dosa.

Itu baru dosa maksiat mata, belum dosa-dosa lainnya yang juga mengintai. Maka tidak mengherankan kalau seorang muslim diarahkan untuk senantiasa mengulang-ulang doa memohan pengampunan (istighfar) setiap hari bahkan setiap waktu.

Saat melakukan shalat, misalnya, banyak bacaan yang berisi permohonan ampunan atas dosa yang dilakukan. Saat membaca doa iftitah terdapat bacaan  agar dijauhkan dari dosa sebagaimana jauhnya jarak antara barat dan timur, agar dosa "dibersihkan" sebagaimana baju kotor dibersihkan, dan agar dosa dicuci dengan air, es, dan embun.

Dalam rukuk dan sujud, setelah mengucap tasbih terdapat doa agar dosa-dosa diampuni oleh Allah. Pada posisi duduk di antara 2 sujud pun begitu, terdapat 3 kata yang semuanya memiliki makna agar Allah mengampuni dosa yang dimiliki; yaitu "Robbighfirlii" (Ya Tuhanku, ampunilah dosaku), "wa'aafini" (maafkan aku), dan "wa'fu 'anni" (maafkanlah kesalahanku).

Doa-doa berisi permohonan ampunan tersebut wajib dibaca berulang-ulang setiap shalat. Kalau dihitung secara matematis maka setiap harinya kita diperintahkan meminta ampun paling sedikit sebanyak 51 kali, dengan rincian 3 kali setiap rakaat dan dalam sehari terdapat 17 rakaat.  Itu kalau hanya mengerjakan shalat wajib 5 waktu. Kalau ditambah shalat sunnah maka jumlahnya lebih banyak lagi.

Namun tidak cukup di situ, nabi Muhammad Saw mengajarkan agar beristighfar sebanyak-banyaknya. Beliau sendiri yang maksum, beristighfar paling sediikit 100 kali dalam sehari  (HR. Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang tidak mungkin terlepas dari jeratan dosa. Selalu saja ada dosa yang dilakukan, sehingga harus selalu minta ampun.

Namun anehnya, banyak dari kita yang tidak bersungguh-sungguh dalam meminta ampun. Setiap bacaan istighfar yang ada dalam shalat maupun di luar shalat dilewati begitu saja tanpa penghayatan yang mendalam. Mungkin lisan mengucapkan "astaghfirullahal 'adziim" (saya meminta ampun kepada Engkau wahai Allah Yang Maha Agung), tapi hati dan pikiran mengembara kemana-mana.

Kalau nabi beristighfar paling sedikit 100 kali dalam sehari, banyak di antara kita yang melalui hari-harinya tanpa istighfar 1 kali pun.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain karena hati yang dimiliki dalam kondisi sakit. Sakitnya pun bermacam-macam; ada yang sakit biasa dan ada juga yang parah mendekati kematian. Sensor dosanya lemah sehingga dosa dianggap hal biasa. Dosa hanya dianggap lalat yang hinggap di hidung, sehingga tak perlu dihiraukan. Atau, dosa justru dianggap makanan yang harus dimakan setiap hari. Na'udzubillahi min dzaalik.

Padahal, dosa memiliki dampak negatif yang banyak. Di antara dampak tersebut adalah, dosa bisa mengakibatkan pelakunya menjadi orang yang lemah akalnya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Aku pernah mengadu kepada Imam Waki’ akan buruknya hapalanku, maka beliau membimbingku agar meninggalkan maksiat, dan beliau mengatakan kepadaku bahwa ilmu agama itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dianugerahkan kepada orang yang suka bermaksiat.” (Thabaqot Al-Hanafiyyah, 1/487)

Imam Waki' juga pernah berkata kepada kepada Imam Ali bin Hasyram , “Tinggalkanlah maksiat. Demi Allah, aku tidak menemukan cara yang paling tepat untuk bisa menghapal, daripada meninggalkan maksiat.” (Siyar A’laamin Nubala’, 6/384)

Masih banyak dampak lain dari dosa selain lemah akal. Ibnul Qayyim dalam kitab ad-Da'u wad Dawa' memamaparkan dampak-dampak lainnya, seperti; terhalang dari rezeki dan urusannya dipersulit, hati terasa jauh dari Allah  SWT dan merasa asing,  hati menjadi gelap sebagaimana gelapnya malam, terhalang dari mendapatkan doa para malaikat, dan lain-lain.

Semoga kita selamat dari perbuatan meremehkan dosa, memperbanyak permohonan ampun kepada Allah, dan menghayati istighfar tersebut dengan penghayatan yang mendalam. Amiin.



 Surabaya-Tasikmalaya, 19 Mei 2016

Senin, 16 Mei 2016

Memaafkan

Saya tidak akan pernah memaafkan mereka. Mereka sudah membuat hidup saya sengsara”, kata teman saya saat dia bercerita tentang kisah hidupnya. Dari apa yang disampaikan, menunjukkan bahwa teman saya ini tidak bisa memaafkan orang yang sudah menyakiti hatinya. Memang, memaafkan bukanlah perkara mudah. Terlebih jika perlakuan yang didapatkan sangat menyakitkan hati dan tidak bisa dilupakan. 

Namun, bagaimana sikap yang benar bagi seorang muslim jika ada orang lain yang menyakiti hatinya? Memaafkan atau tidak memaafkan?

Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa ada seorang sahabat nabi yang disebut-sebut oleh Rasulullah Saw sebagai ahli surga. Karena penasaran dengan penjelasan Rasulullah Saw tersebut, Abdullah bin Amr kemudian berusaha menyelidiki amalan apa yang dilakukan si fulan sehingga dia disebut nabi sebagai ahli surga. 

Abdullah kemudian pergi menginap di rumah si fulan tersebut. Namun ia merasa keheranan, karena ibadah si fulan tidak ada yang istimewa. Lantas ia menceritakan kabar dari nabi dan bertanya kepadanya, amalan apa yang dia lakukan sehingga nabi menyebutnya sebagai ahli surga.

Si fulan pun menjawab, bahwa sebelum tidur dia selalu berdoa agar Allah mengampuni orang-orang yang telah membuat hatinya sakit. Dengan begitu, tidak ada rasa amarah dan dendam dalam hatinya. Dia maafkan semua perlakuan orang yang telah menjadi penyebab hatinya sakit tanpa terkecuali.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang muslim hendaknya memaafkan orang yang telah menjadikan hati sakit. Tidak cukup memaafkan, tapi hendaknya ditambah dengan berdoa agar Allah mengampuni dosa-dosanya.

Dalam al-Quran surat Al-A’raf ayat 199 diterangkan bahwa kita hendaknya menjadi pemaaf. Allah berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
 
Di samping itu, Allah juga menerangkan bahwa sifat memaafkan adalah ciri orang yang bertakwa. Dia berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133-134).

Jadi ada tiga ciri orang bertakwa berdasarkan ayat di atas; yaitu orang yang bersedekah di segala kondisi, orang yang menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain. Ketiga ciri tersebut harus ada semuanya, karena bisa saja ada yang mampu bersedekah di segala kondisi dan mampu menahan amarah namun tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain.

Memaafkan kesalahan orang lain berada di atas tingkat orang yang mampu menahan amarah. Karena orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam. Maka dari itulah, seorang muslim yang baik tidak hanya mampu menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika marah. Kalau mampu melakukannya, ia akan dipuji oleh Allah dan diangkat derajatnya. Allah berfirman: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma`af” (QS. AS-Syuuro: 37)

Dari firman Allah di atas menjadi teranglah perkara ini. Sikap yang benar bagi seorang muslim adalah memaafkan orang yang sudah menyebabkan hatinya sakit. Namun masih ada satu alasan lagi mengapa sikap memaafkan perlu kita lakukan. Dengan memaafkan, kita telah berhasil mendamaikan dan menenangkan hati. Karena kita punya hak untuk menjadikan hati kita tenang dan damai serta terbebas dari rasa dendam.

Tere Liye, salah satu penulis novel muslim pernah menulis dalam salah satu novelnya, “Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian dalam hati”.

Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang gampang memaafkan. Karena dengan memaafkan kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah, memperoleh predikat takwa, serta mendapatkan kedamaian dalam hati. Semoga.


Surabaya, 16 Mei 2016