Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya tentang sumber
ilmu. Diskusi tersebut bermula dari seorang sahabat (sahabat pertama) yang
menyampaikan bahwa sumber kebenaran (baca: ilmu) ada empat, yaitu panca indera,
akal, intuisi, dan wahyu.
Lalu sahabat yang lain (sahabat kedua) menanggapi
bahwa sumber kebenaran adalah al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.
Setelah ikut terlibat dalam diskusi tersebut, saya kemudian berusaha
menelusuri pembahasan tersebut sembari bertanya kepada orang yang saya anggap
mumpuni dalam bidang ini. Dari hasil penelusuran dan proses bertanya tersebut
saya kemudian berusaha merangkumnya dalam coretan kecil ini.
Apa yang disampaikan oleh sahabat yang pertama penjelasannya ada dalam
sebuah kitab yang ditulis seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanafi bernama
Imam An-Nasafi (wafat tahun berjudul
‘Aqaid” yang kemudian disyarah oleh muridnya dengan judul: “Syarhu al-‘Aqoid
an-Nasafiyah”.
Imam An-Nasafi, seorang ulama yang
menguasai berbagai disiplin keilmuan ini menuliskan,
وأسباب العلم للخلق
ثلاثة: الحواس السليمة, و الخبر الصادق, والعقل"”
"Sebab-sebab ilmu bagi makhluk ada 3, yaitu panca indera
yang sehat, khabar shadiq (informasi yang benar), dan al-‘aql (akal)". (Lihat: Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah,
hal. 69-71).
Jadi untuk makhluk (baca: manusia) secara umum, sebab-sebab diperoleh ilmu
ilmu ada 3, yaitu panca indera, khabar Shadiq (informasi yang benar), dan akal.
Namun untuk orang-orang tertentu, Allah karuniakan saluran ilmu yang lain, yaitu
ilham/intuisi (hal. 96-97), sehingga
totalnya menjadi empat.
Landasan dari hal ini tertera dalam al-Quran. Dalam surat an-Nahl ayat 78,
misalnya, Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Begitu juga dengan firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat
179, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya”.
Berikut ini penjelasan mengenai empat sumber tersebut.
Pertama adalah panca indera. Panca indera yang dimaksud adalah persepsi
indrawi yang berjumlah lima; yaitu mendengar, melihat, merasa, mencium
(membau), dan menyentuh.
Kedua adalah khabar shadiq. Khabar shadiq bermakna informasi yang benar. Informasi
yang dimaksud adalah informasi yang berasal dari Allah, baik berupa kitab suci
(al-Quran) ataupun sunnah nabi.
Ketiga adalah akal. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan nalar
dan alur pikir ini kita bisa menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat
kesimpulan, dan lain-lain.
Keempat, yang terakhir, adalah ilham (intuisi/intuition). Ia hanya dimiliki
oleh orang-orang tertentu, seperti para nabi dan orang-orang shalih. Seperti
misalnya nabi Ya’qub yang berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui dari Allah apa
yang kalian tidak mengetahuinya” (QS. Yusuf: 96). Atau perkataan nabi Muhammad,
“Tuhan saya telah mengilhamkan kepada saya” (Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah,
hal. 97).
Begitu juga Umar bin Khattab. Dia adalah orang shaleh yang Allah karuniakan
Ilham. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun
mereka bukan Nabi, jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umar lah
orangnya ” (HR. Bukhari).
Baik, kita sudah membahas tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang
pertama, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan khabar shadiq.
Lantas, bagaimana dengan jawaban sahabat saya yang kedua yang menyatakan
bahwa sumber ilmu adalah al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas?
Kalau jawaban untuk sahabat yang pertama saya paparkan bahwa hal itu sudah
dijelaskan oleh Imam Nasafi, maka untuk jawaban sahabat saya yang kedua ini
diterangkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul “Ar-Risalah”.
Dalam kitab yang populer tersebut, Imam Syafi’i berkata, “
" ليس لأحد أبدا أن يقول فى
شيئ حل ولا حرم إلا من جهة العلم, وجهة العلم الخبر فى القرآن أو السنة أو الإجماع
أو القياس"
“Tak seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau
haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui informasi yang ada di
al-Quran, sunnah, ijma’ atau qiyas” (Ar-Risalah, hal. 508)
Berikut penjelasan tentang keempat sumber ilmu tersebut.
Pertama adalah al-Quran. Al-Quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri
dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada
Allah swt.
Kedua adalah sunnah. Sunnah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan penetapan yang
dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.
Ketiga adalah ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi.
Keempat adalah qiyas. Qiyas adalah
menerangkan hukum sesuatu
yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nashز
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keempat sumber tersebut tidak
terlepas dari al-Quran dan hadits. Maka tidak mengherankan jika Imam Syafi’i membuat
pola hierarkis yang kedudukannya berurutan. Sumber yang pertama al-Quran, yang
kedua hadits, yang ketiga ijma’, dan yang keempat qiyas. Urutannya harus
begitu. Tidak boleh dibolak-balik.
Dengan hierarkis seperti ini mempunyai implikasi
bahwasanya segala jenis ilmu harus sesuai dengan standar al-Quran, dan tidak
boleh bertentangan. Kalaupun ada ilmu yang kontradiktif dengan al-Quran, maka
di sana ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ilmu itu salah, dan
kemungkinan kedua, pemahaman dan penafsiran kita tentang al-Quran itu yang
salah.
Baik, kita sudah mendapat penjelasan tentang sumber ilmu
menurut sahabat saya yang pertama dan juga menurut sahabat saya yang kedua. Sumber
ilmu menurut sahabat saya yang pertama (panca indera, akal, khabar shadiq,
intuisi) bisa ditelusuri dalam kitab Imam An-Nasafi, dan sumber ilmu menurut
sahabat saya yang kedua (al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas) bisa ditelusuri dalam
kitab Imam Syafi’i.
Lalu, mana yang benar? Pendapat sahabat saya yang pertama
atau pendapat sahabat saya yang kedua?
Menurut hemat saya, keduanya sama-sama benar. Perbedaanya
terletak pada dari sisi mana kita melihatnya. Keempat sumber ilmu menurut Imam
Nasafi (panca indera, akal, khabar shadiq, dan intuisi) adalah sumber ilmu yang
dilihat dari sisi epistemologis, yaitu alat/saluran/instrumen untuk memperoleh
ilmu pengetahuan. Sedangkan keempat sumber ilmu menurut Imam Syafi’i (al-Quran,
sunnah, ijma’, dan qiyas) adalah sumber ilmu yang dilihat dari aspek sumber
ilmu syariah, yaitu mashadirul ahkam (sumber hukum-hukum) dalam Islam yang
senantiasa dijadikan sandaran. Wallahua’lam bis shawab.
Surabaya, 23 November 2016