Namun, bagaimana sikap yang benar bagi seorang muslim jika
ada orang lain yang menyakiti hatinya? Memaafkan atau tidak memaafkan?
Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa ada seorang
sahabat nabi yang disebut-sebut oleh Rasulullah Saw sebagai ahli surga. Karena
penasaran dengan penjelasan Rasulullah Saw tersebut, Abdullah bin Amr kemudian
berusaha menyelidiki amalan apa yang dilakukan si fulan sehingga dia disebut
nabi sebagai ahli surga.
Abdullah kemudian pergi menginap di rumah si fulan
tersebut. Namun ia merasa keheranan, karena ibadah si fulan tidak ada yang
istimewa. Lantas ia menceritakan kabar dari nabi dan bertanya kepadanya, amalan
apa yang dia lakukan sehingga nabi menyebutnya sebagai ahli surga.
Si fulan pun menjawab, bahwa sebelum tidur dia selalu
berdoa agar Allah mengampuni orang-orang yang telah membuat hatinya sakit. Dengan
begitu, tidak ada rasa amarah dan dendam dalam hatinya. Dia maafkan semua
perlakuan orang yang telah menjadi penyebab hatinya sakit tanpa terkecuali.
Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang
muslim hendaknya memaafkan orang yang telah menjadikan hati sakit. Tidak cukup
memaafkan, tapi hendaknya ditambah dengan berdoa agar Allah mengampuni
dosa-dosanya.
Dalam al-Quran surat Al-A’raf ayat 199 diterangkan bahwa
kita hendaknya menjadi pemaaf. Allah berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang-orang
mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Di samping itu, Allah juga menerangkan bahwa sifat memaafkan
adalah ciri orang yang bertakwa. Dia berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya, serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Ali Imran:
133-134).
Jadi ada tiga ciri orang bertakwa berdasarkan ayat di
atas; yaitu orang yang bersedekah di segala kondisi, orang yang menahan amarah,
dan memaafkan kesalahan orang lain. Ketiga ciri tersebut harus ada semuanya, karena
bisa saja ada yang mampu bersedekah di segala kondisi dan mampu menahan amarah
namun tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Memaafkan kesalahan orang lain berada di atas tingkat
orang yang mampu menahan amarah. Karena orang yang mampu menahan amarah belum
tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam. Maka dari itulah, seorang muslim yang baik tidak
hanya mampu menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika marah. Kalau mampu
melakukannya, ia akan dipuji oleh Allah dan diangkat derajatnya. Allah berfirman: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
ma`af” (QS. AS-Syuuro: 37)
Dari firman Allah di atas menjadi teranglah perkara ini.
Sikap yang benar bagi seorang muslim adalah memaafkan orang yang sudah
menyebabkan hatinya sakit. Namun masih ada satu alasan lagi mengapa sikap
memaafkan perlu kita lakukan. Dengan memaafkan, kita telah berhasil mendamaikan
dan menenangkan hati. Karena kita punya hak untuk menjadikan hati kita tenang
dan damai serta terbebas dari rasa dendam.
Tere Liye, salah satu penulis novel muslim pernah menulis
dalam salah satu novelnya, “Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu
bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang
jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita
berhak atas kedamaian dalam hati”.
Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang gampang
memaafkan. Karena dengan memaafkan kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi
di hadapan Allah, memperoleh predikat takwa, serta mendapatkan kedamaian dalam
hati. Semoga.
Surabaya, 16 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar